Detik-Detik Kelahiran MTA
M
|
ajlis pengajian
Tafsir Al Qur’an yang dirintis pertama kali oleh Ustadz Dullah pada tanggal 19
September 1972 semakin berkembang. Kegiatan pengajian Tafsir Al Qur’an juga
semakin banyak diikuti oleh umat Islam dan dilaksanakan di beberapa tempat.
Kemudian muncullah ide untuk melegalkan kelompok pengajian Tafsir Al Qur’an ini
agar semua kegiatan yang diadakan dapat bersifat legal dan mampu diterima oleh
semua elemen masyarakat.
Oleh
sebab itu, dua tahun kemudian kelompok pengajian Tafsir Al Qur’an ini
didaftarkan ke Departemen Sosial dengan nama Yayasan Majlis Tafsir Al Qur’an
Surakarta. Ustadz Dullah pun mencatatkan dirinya sebagai pendiri Majlis Tafsir
Al Qur’an Surakarta. Pada waktu itu, badan hukum yang dipakai oleh Majlis
Tafsir Al Qur’an Surakarta berupa yayasan dengan akta notaris R. Soegondo
Notosoerjo, No. 23, tertanggal 23 Januari 1974.
Peresmian gedung MTA Pusat. Tampak di dalam gambar ustadz Dullah didampingi ayahnya, Thufail Muhammad |
“Awalnya
Ustadz Abdullah Thufail Saputro merintis majlis dakwah ini tanpa nama. Namun,
karena regulasi pemerintah yang mengharuskan setiap perkumpulan apapun harus
memiliki ijin resmi, maka dibuatlah majlis pengajian ini dengan bentuk yayasan
yang bergerak di bidang dakwah, diberi nama Majlis Tafsir Al Qur’an,” dikutip
dari artikel berjudul “Latar Belakang dan Sejarah MTA” yang terdapat pada
majalah Respon edisi 268 tahun 2012.
Setelah
diresmikannya Majlis Tafsir Al Qur’an Surakarta sebagai lembaga dakwah Islam
yang berbadan hukum yayasan, maka organisasi ini berasaskan Islam dan
berlandaskan Pancasila serta UUD 1945. Dengan demikian, kegiatan dakwah yang
dilakukan oleh Majlis Tafsir Al Qur’an semakin mudah di gelar dan mendapat
perlindungan dari pemerintah.
“Adapun
susunan pengurusnya meliputi: Ketua (Ustadz Dullah), Wakil Ketua (Ir. Sumarno),
Sekretaris I (Wahidin Jabari), Sekretaris II (Junaedi Husein), Bendahara I
(Nyonya Sumarno), Bendahara II (Umi Salamah), Pembantu Umum (Nyonya Suprapti,
Yahya Saputro, dan Haidar Makarim),” tulis sekretariat MTA dalam buku “Mengenal
Yayasan Majlis Tafsir Al Qur’an.”
Sejatinya,
kelompok pengajian Tafsir Al Qur’an yang diasuh oleh Ustadz Dullah ini tidak
ingin memiliki nama resmi. Alasannya untuk menghindari agar MTA tidak menjadi
organisasi tersendiri di tengah organisasi Islam yang lain yang sudah banyak.
“Tetapi
dalam perkembangannya ada tuntutan administratif dan demi mematuhi
undang-undang negara yang berlaku di Indonesia yang mana sebuah perkumpulan
harus memilih yayasan atau organisasi massa dengan nama yang definitif, maka
dipilihlah nama Majlis Tafsir Al-Quran, yang secara resmi berdiri pada tanggal
19 September 1972 meskipun belum dicatatkan di kantor notaris,” tutur salah
seorang Pimpinan Pusat MTA, Drs. Medi, ditulis oleh Mutohharun Jinnan, dalam
disertasinya yang berjudul “Kepemimpinan Imaamah dalam Gerakan Purifikasi Islam
di Pedesaan.”
kantor pusat MTA, Semanggi, Pasarkliwon, Surakarta |
Ustadz
Dullah memilih kata ”Majlis” untuk mengawali nama lembaga dakwah yang baru
Beliau dirikan. Hal ini karena peserta pengajian Tafsir Al Qur’an yang diasuh
oleh Ustadz Dullah selalu duduk melingkar menyimak penjelasan dari sang Ustadz.
Kata
“Majlis” sendiri berasal dari bahasa Arab, jalasa,
yang artinya duduk. Sedangkan kata Tafsir Al Qur’an digunakan sebagai penanda
bahwa majlis tersebut mengkaji
tafsir-tafsir Al Qur’an yang telah ada. Bukan sebagai majlis yang menafsirkan
Al Qur’an kembali.
suasana pengajian gelombang |
“Majlis
yang dimaksudkan di sini adalah suatu tempat berkumpul beberapa orang untuk
berbincang-bincang tentang berbagai masalah seperti pengajian, diskusi, belajar
bersama, usrah, rapat, dan lain-lain baik yang bersifat resmi atau tidak,”
tulis Ustadz Dullah dalam sebuah brosur yang berjudul “Adabul Majalis.”
Pada
saat ini, nama yayasan Majlis Tafsir Al Qur’an lebih populer disebut dengan
singkatan MTA. Penyebutan MTA pertama kalinya dipopulerkan oleh aparat
keamanan.
“(ABRI)
yang merasa sulit menyebut lengkap nama yayasan ini pada saat memintai
keterangan dari pimpinan. Sementara warga MTA sendiri lebih memilih sebutan
”majlis” dalam percakapan sehari-hari,” kata Dahlan Harjotaruno di dalam
disertasi karya Mutohharun Jinnan yang berjudul “Kepemimpinan Imaamah dalam
Gerakan Purifikasi Islam di Pedesaan.”
MTA
memiliki lambang berupa gambar kitab Al Qur’an yang di atasnya terdapat kutipan
QS. Al Isra’ [17] ayat 9, Sesungguhnya Al
Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus. Sedangkan
dibagian bawah terdapat kutipan QS. Al Hadid [57] ayat 16, Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?.
Lambang
tersebut memiliki makna:
1. Gambar
kitab Al Qur’an memiliki arti bahwa Al Qur’an sebagai kitab suci berisi firman
Allah
SWT untuk dijadikan sebagai pedoman hidup umat manusia.
2. QS. Al Israa’ ayat 9 memiliki arti, “Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan
petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” Makna dari ayat ini adalah Al
Qur’an yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW harus digunakan oleh
umat Islam sebagai petunjuk menuju jalan yang lurus. Selain itu, Al Qur’an juga
menjadi sumber rujukan bagi kehidupan manusia agar terhindar dari perbuatan yang
menyimpang.
3. QS.
Al Hadiid ayat 16 memiliki arti, “Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?.”
Makna dari kalam Allah SWT ini merupakan suatu teguran bagi orang-orang yang
beriman agar mereka selalu mengingat Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa.
Ayat ini juga menyeru kepada umat Islam untuk mempercayai kebenaran ayat-ayat
Al Qur’an yang tidak ada keraguan di dalamnya.
Pada awal kepemimpinannya di MTA, Ustadz
Dullah memberikan pendidikan yang tegas kepada murid-muridnya. Model pengajian
di MTA sejak awal memang di desain berjalan intensif tiap pekan. Pengajian
intensif satu pekan sekali ini disebut dengan istilah gelombang (gelombang
pertama sampai gelombang tiga berlangsung tiga kali dalam sepekan).
Menurut
Bariyanto, Ustadz Dullah tak segan-segan untuk membubarkan pengajian gelombang
bila diketahuinya ada peserta pengajian gelombang yang malas, tertidur,
dan mudah membolos. Setelah membubarkan
pengajian gelombang sebelumnya, Ustadz Dullah akan mengumumkan kepada khalayak
umum tentang pembentukan pengajian gelombang MTA berikutnya.
“Dengan
sistem pengajian gelombang, akan tersisih (sendiri) peserta yang tidak
bermutu,” jelas Pak Barri yang hampir tiap malam memijat Ustadz Dullah.
Ustadz
Dullah sangat bersungguh-sungguh dalam merintis MTA. Seluruh waktu yang Beliau
korbankan untuk membangun lembaga dakwah MTA. Karena hampir seluruh kegiatan
pengajian MTA dipimpin sendiri dengan gigih dan tidak kenal lelah oleh Ustadz
Dullah. Hal ini Beliau lakukan semata-mata untuk menjaga soliditas, persatuan
dan persaudaraan seluruh warga pengajian MTA.
“Ia
pula menjadi guru tunggal memberikan bimbingan kepada warga MTA di pengajian
gelombang di kantor Pusat Semanggi. Pengetahuan dan keluasan wawasan dari
pengalaman berdagang menjadikan wibawanya semakin kokoh dan menjadi pusat
seluruh penyelesaian persoalan yang dihadapi oleh warganya,” kata putra Ustadz
Dullah, Munir Ahmad.
Lebih
lanjut Munir Ahmad menuturkan, “Dalam berbagai kesempatan (Al Ustadz) Abdullah
Thufail Saputro sering menyampaikan kepada keluarga akan memimpin MTA selama 20
tahun, setelah itu MTA akan dipimpin oleh orang lain entah siapa. Tidak ada
pewarisan kepemimpinan dari pendiri kepada generasi berikutnya,” seperti yang
dikutip dalam disertasi “Kepemimpinan Imaamah dalam Gerakan Purifikasi Islam di
Pedesaan.”
***
Komentar
Posting Komentar