Ringkasan Novel Bayangan Memudar
Setelah
saya membaca novel yang berjudul “Bayangan Memudar” karya E. Breton de Nijs, saya
dapat membuat ringkasannya sebagai berikut. Sebelum saya menyajikan ringkasan
isi buku, saya akan sajikan terlebih dahulu tentang indentitas buku sebagai
berikut;
ð Judul
: Bayangan memudar : kehidupan sebuah keluarga
Indo.
Terjemahan,
Sugiarti Sriwibawa , Toto Sudarto Bachtiar
ð Pengarang : Nijs, E. Breton de
ð Penerbitan : Pustaka Jaya
ð Tahun : 1975
Novel
ini berkisah tentang kehidupan orang-orang Belanda yang tinggal dan menetap di
Hindia serta menikah dengan orang pribumi pada masa Kolonial Belanda.
Orang-orang semacam ini disebut sebagai orang Indo. Sedangkan orang atau
penduduk asli disebut dengan istilah orang pribumi dan orang Eropa untuk
orang-orang yang tetap menjaga keturunannya dengan menikahi orang-orang Eropa.
Pada suatu ketika Tante Sophie jatuh dan
mengakibatkan dia meninggal dunia. Salah seorang anak saudaranya yang bernama Fonnie
mendengar kejadian tersebut, tapi dia tidak mempedulikan. Beberapa saat
kemudian para pelayan, Tante Chritien dan Oom Dubekart mulai berdatangan untuk
memberikan pertolongan. Mereka menganggkatnya dan menempatkannya di ranjang
kamarnya. Setelah itu, dipanggillah seorang dokter untuk memastikan kondisi
Tante Sophie. Dokter segera tahu kondisi Tante Sophie yang semakin melemah. Tak
berapa lama, tante Sophie akhirnya meninggal dunia.
Keesokan harinya para sanak keluarga
berdatangan untuk menyatakan rasa belasungkawa. Oom Alex, yang merupakan
saudara dari Tante Sophie turut hadir dalam suasana duka tersebut. Upacara
pemakaman, peti jenazah, bunga, dan mobil jenazah sudah dipersiapkan. Segera setelah
semuanya siap, jenazah Tante Sophie diberangkatkan ke pemakaman Tanah Abang,
seperti para pendahulunya yang sama-sama dimakamkan di pemakaman tersebut.
Sesampainya di pemakaman, jenazah segera
dikuburkan. Selesai prosesi pemakaman jenazah, di isi kotbah dari Oom Dubekart,
yang mewakili Oom Alex, karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan.
Upacara pemakaman akhirnya selesai, para pengiring segera kembali ke rumah duka.
Suasana duka masih menyelimuti kediaman Tante Sophi. Isak tangis masih terdengar
walau sudah agak berkurang.
Oom Alex merasa tidak nyaman dengan
suasana rumah Tante Shopie dan dia memutuskan untuk segera pulang ke rumahnya
di desa. Dia merasa lebih leluasa bersikap seperti di rumahnya ketimbang di
rumah keluarga Tante Sophie. Hal ini karena dia merasa bahwa dirinya bukan lagi
sebagai anggota keluarga Tante Sophie. Dia diacuhkan sebagai anggota keluarga
besarnya karena menikahi seorang perempuan pribumi yang membuat dia dipandang
sebelah mata oleh keluarganya. Dia memanggil sopirnya untuk mengisi bahan
bakar, setelah itu Oom Alex berpamitan, dan berangkat pulang.
Oom Tjen yaitu suami dari Tante Sophie
yang merupakan saudara dari ibuku. Tepatnya saudara sepupu. Ibuku diurus oleh
ayah dan ibu dari Oom Tjen dan Oom Charles ketika orang tuanya meninggal. Ibuku
sudah menganggap Oom Tjen dan Oom Charles seperti adiknya sendiri. Karena sejak
kecil ia sudah tinggal serumah dengan mereka.
Oom Tjen anak terakhir, Ibunya sangat
memperhatikannya dari kecil karena ia sering sakit-sakitan. Dia juga anak yang
paling kurus, berbeda dengan kakaknya Oom Charles yang berbadan tegap seperti
ayahnya. Mereka berdua di didik dengan keras oleh ayahnya. Ayahnya merupakan
orang yang keras dalam menanamkan kepribadian bagi anak-anaknya. Mereka berdua
sering diajak berburu. Ketika mereka berbuat salah, ayahnya juga tak segan
untuk menghukumnya dengan mengurungnya di gudang.
Oom Charles adalah laki-laki yang tegas,
berpendirian kuat, dan berani. Sangat berbeda dengan kakaknya, Oom Tjen,
terbilang jauh lebih lemah dan terkesan lebih lembut. Kakaknya secara fisik
mirip dengan Sang Ayah sedangkan adiknya mirip dengan Sang Ibu. Ayahnya selalu
mengawasi mereka berdua dengan ketat sehingga mereka merasa takut dengan itu.
Saat Oom Tjen masuk sekolah HBS, ibuku
pergi ke Semarang untuk bekerja di sebuah kantor makelar. Ibuku tinggal bersama
saudara perempuannya. Di Semarang merupakan awal bertemunya Ibu dengan Ayah. Ayahku
waktu itu sudah berumur empat puluh tahun. Selanjutnya mereka menikah. Saat Ibu
dan Ayah menikah, Oom Tjen baru duduk di kelas tiga HBS. Ia mengirimkan surat
kepada Ibu, yang di isinya menyatakan bahwa Oom Tjen tidak akan kawin jika
tidak menemukan perempuan yang seperti Ibu dan jika ada perempuan seperti Ibu,
dia juga tetap tidak akan kawin selama perempuan tersebut tidak lebih baik dari
Ibu.
Setelah Om Tjen lulus dari HBS, ayahnya
menyuruhnya mengikuti tes pos kilat di Betawi. Setahun kemudian, dia ditugaskan
bekerja di Muko-Muko, Bengkulu. Beberapa tahun kemudian Oom Tjen bertunangann
dengan Tante Sophie. Saat mereka berkunjung ke rumahku untuk diperkenalkan, ibu
mengungkit masalah surat yang dikirim oleh Oom Tjen Kepada Ibu. Ibu membacakan
kembali isi surat tersebut sehingga yang lain pada tertawa. Oom Tjen merasa
benar-benar sebagai korban olok-olokan sehingga mukanya memerah.
Tante Sophie menikah dengan Oom Tjen
saat berumur tiga puluh lima tahun sedangkan Oom Tjen lima tahun lebih muda
darinya. Aku sebagai seorang anak-anak berumur kurang lebih Sembilan tahun
hanya teringat kegembiraannya saja saat pernikahan mereka. Pesta pernikahan
dihadiri oleh para keluarga dari mempelai yang berlangsung meriah. Setiap orang
tampak riang dan mulai berkenalan satu sama lainnya.
Pemberkatan perkawinan Tante Sophie dan
Oom Tjen dilangsungkan di Gereja Bethel di Meester Cornelis. Aku sebagai
pengiring mempelai bersama Ringkie keponakan Tante Sophie. Setelah upacara di
gereja usai, selanjutnya adalah jamuan makan yang sangat mewah. Di
tengah-tengah jamuan, tepatnya saat pudding
dikeluarkan, Tante Sophie menangis tanpa ada yang tau sebabnya. Hal tersebut
membuat Oom Tjen merasa malu terhadap
tamu yang hadir. Tetapi semua segera melupakan tangisan dari Tante Sophie
dengan datangnya hidangan pudding. Setelah itu, mempelai berganti pakaian untuk
persiapan perjalanannya. Mobil sudah siap di depan rumah, Oom Tjen dan Tante
Sophie segera berangkat dengan mengucapkan selamat jalan dan melambaikan
tangan.
Mereka menuju ke Bogor untuk bulan madu
dengan menginap di Hotel Bellevue. Tujuan sebenarnya bukanlah ke Bogor
melainkan ke Cidane, yaitu rumah peninggalan dari keluarga Tante Sophie yang
merupakan tanah terbesar dalam warisannya. Mereka di sana disambut oleh Oom
Otto yang merupakan salah satu kakek dari Tante Sophie. Datang telegram dari
Betawi, tepatnya dari Tante Christien yang menyuruh mereka segera pulang.
Mereka segera pulang ke Betawi dengan
tujuan utama untuk siap-siap pindah rumah. Tante Christien pindah dari rumah
besar ke paviliun sebelah kanan, sedang Tante Sophie dan Oom Tjen tetap tinggal
di rumah besar.
Setelah itu Tante Sophie, Oom Tjen, aku,
Ibu, dan Ayahku pindah ke negeri Belanda. Oom Tjen kemudian ditugaskan ke
Davos. Oom Tjen sakit-sakitan, kondisi fisiknya sungguh memprihatinkan. Tak
lama kemudian Oom Tjen meninggal dunia. Tante Sophie dan kedua orang tuaku
merasa sedih atas kejadian tersebut. Lalu Tante Sophie tinggal bersama
keluargaku. Sebenarnya dia ingin kembali ke Hindia, ia juga merasa rindu kepada
Kitty, tetapi Ibuku melarangnya untuk kembali.
Aku pindah ke Leiden untuk kuliah
megambil jurusan Hukum Hindia. Aku merasa sangat terasing dengan cara hidup
mahasiswa yang lainnya. Kemudian aku bertemu dengan salah seorang mahasiswa
yang dulu merupakan orang dari Jawa yang bernama Sudarpo. Aku sering
mengunjunginya meski dia membenci kebijakan politik Belanda.
Aku
mulai mengenal Ringkie. Ia jauh berbeda dengan masa kanak-kanakku dulu. Aku
mengajaknya berdansa. Rinkie sangat senang dengan situasi itu. Cerita kemudian dilanjutkan
dengan alur mundur menceritakan kelahiran Kitty anak dari Tante Christien,
sudah tentu settingnya berubah, yaitu di rumah
Salemba. Selanjutnya menceritakan tentang anak-anak gadis Oom Alex,
disinggunng juga Titi ibu dari gadis-gadis yang tinggal bersama Tante Sophie
sampai ia meninggal itu. Disebutkan, Titi pernah mengunjungi Betawi. Oom Alex
pun diceritakan pada bagian akhir, terutama tentang alasannya tidak mau
menikahi perempuan dari golongan Eropa.[Abdul Wahid]
Komentar
Posting Komentar