Pertemuan Terakhir
Karya: Abdul Wahid
Mobil Kijang berwarna
hitam melaju kencang dari arah utara. Suara rem akibat gesekan ban dengan aspal
terdengar bagaikan teriakan maut yang menyambut kedatangan malaikat pencabut
nyawa. Mobil Kijang menyambar sebuah sepeda motor yang tengah berusaha
menyeberang di tengah jalan. Aroma bensin menyeruak disekitar lokasi. Darah
berceceran di tengah jalan. Seorang lelaki pengendara sepeda motor terpental
sejauh 20 meter dari lokasi tabrakan. Orang-orang yang sedang berada di
parkiran langsung berkerumun. Mereka bergegas datang namun tak menolong. Mereka
hanya termenung melihat seorang pengendara motor yang berlumuran darah sedang mengaduh
kesakitan di tengah jalan.
Malam ini aku bersama
Kelik janjian bertemu di Kafe Ngopi ABC dekat kampus UNS Solo untuk menikmati
sajian Kopi Tubruk khas Aceh yang rasanya terkenal pedas dan pahit. Namun, Kopi
ini sungguh nikmat untuk menemani obrolan ringan sepanjang malam. Aku datang di
Kafe Ngopi ABC tepat pukul 20.30 WIB. Saat sampai di parkiran, aroma khas kopi
nusantara menyembul dari dalam kafe ini. Sebuah musik cadas yang dibawakan oleh
Iwan Fals menyambut kedatanganku. Memang, Kafe ini selalu dikunjungi oleh
maniak kopi sejak zaman dulu karena sudah dikenal dengan berbagai macam jenis
kopi yang berasal dari seluruh pelosok Nusantara. Lima menit berselang, Kelik
datang. Ia datang dengan menggenakan helm mini serta mengendarai sepeda motor lawas
buatan tahun 70an. Ia langsung menghampiriku yang sedang duduk dipojokkan Kafe
dengan ditemani sebatang lilin aroma terapi yang membuat suasana semakin
nyaman. Dua cangkir Kopi khas Aceh pesanakan kami datang dengan diantar oleh
seorang pelayan. Pelan-pelan pelayan wanita itu menuangkan kopi ke cangkir lalu
membawanya dengan nampan berisikan dua buah cangkir kopi pesanan kami. Kuperhatikan
ia sangat berhati-hati saat menaruh cangkir-cangkir kopi kami. Sebuah kata
terima kasih kupersembahkan kepada pelayan wanita ini sebelum ia meninggalkan
seutas senyum lalu pergi dengan wajah merah merona. Kami berdua memulai obrolan
dengan bercerita tentang kisah masa lalu kami ketika tinggal di pondok pesantren
yang terletak di tepi Bengawan Solo. Aku mencoba meraba-raba ingatanku tentang masa
lalu. Ku ingat terakhir kami bertemu saat merayakan kelulusan. Itupun sudah 20
tahun yang lalu. Kelik lalu menceritakan kisah cintanya dengan seorang gadis berjilbab
keturunan Jawa yang akhirnya berlabuh dipelaminan. Ia mengawali rumah tangganya
dengan modal nekat alias tak punya pekerjaan. Bersusah-susah Kelik mencari
pekerjaan. Tak satupun perusahaan yang mau menerimanya sebagai karyawan. Karena
keterbatasan uang, Kelik yang merupakan anak dari buruh tani yang tidak memiliki
sawah maupun ladang hanya mampu menempuh sekolah sampai jenjang SMA. Berkat
kesabaran dan ketabahan hati sang istri, akhirnya mereka berdua merintis usaha
pabrik roti kecil-kecilan. Selang lima tahun sejak merintis pabrik roti, mereka
kini telah memiliki empat karyawan, rumah sendiri, mobil sendiri serta bisa
menyekolahkan keempat putranya di pondok tahfidz Al Qur’an. Aku hanya bisa
tersenyum kecut mendengar kisah cinta sahabatku ini. Karena sampai umurku yang
menginjak usia 30 tahun ini tak seorang wanita pun yang mau menerima
pinanganku. Dua jam kita mengobrol tentang masa lalu yang indah dan menikmati
secangkir kopi khas Aceh. Kelik mohon undur diri karena istrinya sedang
sendirian di rumah.
Mataku tak sanggup berkedip
walau sesaat. Baru lima menit yang lalu kita bernostalgia tentang masa lalu
kita di pondok pesantren. Kini aku harus berlari menolongmu. Tak sanggup aku
berkata. Air mataku menetes deras. Melihatmu yang berlumuran darah.
“Sahabatku,
bertahanlah. Aku sedang mencari ambulance untuk mengantarkanmu ke rumah sakit,”
kataku dengan suara parau seraya membopong Kelik ke pinggir jalan.
Ambulance datang. Aku beserta
perawat membopong tubuh Kelik yang berlumuran darah ke dalam ambulance. Mobil ambulance
melaju kencang menuju rumah sakit. Suara sirine menggema sepanjang jalan. Terbata-bata
Kelik mengajakku bicara.
“Bid.... Bila aku mati.
Tolong jaga istri dan anak-anakku,” ucap Kelik dengan terbata-bata dan batuk
darah.
“Insya Allah Lik,”
jawabnya dengan penuh keharuan.
Ambulance tiba di rumah
sakit. Petugas jaga dari UGD rumah sakit itu langsung membawa Kelik ke ruang
UGD dengan kasur dorong. Di bawah terangnya cahaya lampu rumah sakit, tampaklah
kalau tubuh Kelik bermandikan darah. Luka disekujur tubuhnya memancarkan darah.
Aku hanya menanggis tak sanggup melihat penderitaan Kelik saat ini.
Seorang anak kecil
membawa telpon seluler dengan membunyikan sebuah lagu cadas yang dinyanyikan
oleh Iwan Fals. Bersamaan dengan itu istri Kelik datang menghampiriku. Dia langsung
bertanya tentang kondisi Kelik. Aku tak sanggup berkata apapun. Hanya isak
tangis yang dapat kuucap. Pelan-pelan kucoba untuk berkata kepadanya.
“Kata dokter, Kelik
sudah meninggal ketika diperjalanan.” Jawabku bingung.
“Tadi Kelik berpesan
kepadaku untuk menjagamu dan menjaga anak-anakmu,” lanjutku.
Mendengar ucapanku,
istrinya Kelik langsung menangis. Walau menangis, aku lihat istrinya Kelik ini tetap
tegar. Ia hanya menangis sesegukkan. Tak sampai terisak-isak sepertiku. Sebelum
ia memasuki kamar jenazah untuk melihat jenazah suaminya, ia mengatakan sesuatu
kepadaku.
“Aku ikhlas ditinggal
mati oleh suamiku dan aku menyanggupi permintaan suamiku,” katanya kepadaku.
Keesokan harinya aku
beserta masyarakat menguburkan jenazah Kelik di kuburan Muslim. Aku memandikan
jenazahnya, aku kafani jenazahnya, aku shalatkan jenazahnya, dan aku kuburkan
jenazahnya. Semoga Allah SWT meridhoimu masuk jannah-Nya.
Komentar
Posting Komentar