Yatim di Usia Tiga Tahun
Abah Thufail dengan istri keduanya |
Sejatinya, orang tua ustadz Dullah memberinya nama Abdullah
saja tanpa Thufail Saputra. Belum diketahui secara pasti apa tujuan penggunaan
nama Thufail Saputra di belakang nama Abdullah. Bahkan, kakak kandungnya
mengatakan, “Saya malah enggak tahu (ada nama Saputra) itu maksudnya apa. Kalau
Thufail itu seperti nama marga,” ungkap Siti Khadijah.
Kakak dari Ustadz Dullah ini menambahkan informasi
mengenai tahun kelahiran ustadz Dullah, “Sebenarnya Abdullah itu tidak lahir
tanggal 19 September 1927. Karena surat-surat (akta, KK) hilang saat banjir di
Solo tahun 60-an. Jadinya lupa lahir tanggal berapa. Saat mendirikan MTA harus
jelas (data diri pendirinya) maka dia ubah tahun berdirinya MTA 1972 jadi 1927
tapi tanggalnya sama,” tutur Siti Khadijah.
Siti Khadijah melanjutkan ceritanya tentang Abah
Thufail. Saat ia berumur dua tahun, Abah Thufail pernah pulang ke Pakistan. Waktu
itu Mamah Fatma baru saja melahirkan Abdullah. Kepulangan Abah Thufail ke
Pakistan untuk memenuhi permintaan ibunya dalam sebuah surat yang dikirim
kepadanya.
Setibanya di Pakistan, Abah Thufail diminta oleh
ibunya untuk menikah dengan wanita Pakistan yang telah disiapkan. Abah Thufail
juga diminta untuk menetap di Pakistan. Namun, Abah Thufail menolak permintaan
ibunya. Lalu Abah Thufail menceritakan bahwa dirinya telah memiliki istri dan
dua anak di Indonesia.
Kemudian sang ibu meminta Abah Thufail untuk
membawa istri dan kedua anaknya menetap di Pakistan. Setelah pertemuan dengan
ibunya itu, Abah Thufail undur diri kembali ke Indonesia. Setibanya di
Indonesia Abah Thufail mendapat kabar dari Pakistan yang memberitahukan bahwa
ibunya telah meninggal dunia. Rasa menyesal menghinggapi jiwa Abah Thufail
karena ia belum sempat membawa keluarganya ke Pakistan.
Hal ini membuat Abah Thufail sering menangis dalam
setiap lantunan doa dan dzikirnya kepada Allah SWT. “Akhirnya sampai lama,
lama, sampai mamahnya (Abah Thufail) meninggal. Angger (setiap) sholat ngunu
(gitu) nangis-nangis. Untung sudah pernah pulang kampung,” ungkap Siti Khadijah
tersedu.
Buah dari pernikahan Abah Thufail dengan Mamah
Fatma sejatinya dikaruniai empat orang anak. Adiknya Abdullah meninggal dunia
terlebih dulu setelah dilahirkan. Sedangkan, adiknya yang kedua juga meninggal
dunia bersama Mamah Fatma saat akan dilahirkan.
Kematian Mamah Fatma sempat membuat Abah Thufail
tertekan. Sempat muncul dalam benak Abah Thufail untuk kembali ke tanah
kelahirannya di Pakistan dan tidak mau kembali ke Indonesia. Namun, karena ia
memiliki dua anak yang masih kecil, Abah Thufail mengurungkan niat tersebut.
Tak ingin larut dalam kepedihan mendalam, akhirnya
Abah Thufail menikah lagi dengan seorang wanita keturunan Pakistan bernama
Khadijah. Ia adalah adik perempuan dari salah satu penjahit yang bekerja di
toko Abah Thufail. “Kalau enggak ada saya sama Abdullah, tokonya itu mau
dilelang. Tidak mau di Indonesia lagi. Lha ada saya dan Abdullah ini tidak bisa
pulang meninggalkan (Indonesia),” ungkapnya.
Sepeninggal Mamah Fatma, Siti Khadijah dan Abdullah
diasuh oleh ibu tirinya. Di hari-hari selanjutnya mereka berdua mampu hidup
berdampingan secara harmonis dan tak pernah mengalami permusuhan dengan ibu
serta 10 (sepuluh) saudara
tirinya. “Alhamdulillah. Selamanya tidak ada apa-apa,” tegasnya.
Walau pada zaman itu Indonesia belum merasakan
indahnya kemerdekaan, kondisi perekonomian keluarga Abah Thufail di Pacitan
sudah terbilang mapan. Pendapatan untuk menghidupi keluarganya berasal dari
usaha dagang. Ia memiliki sebuah toko berukuran 10 x 8m² yang dapat disebut
sebagai toko besar pada waktu itu. Toko Abah Thufail terdiri atas tiga bagian
dengan dagangan yang berbeda pula. Bagian pertama berjualan sembako, di bagian
selanjutnya berjualan kain, dan di bagian terakhir berjualan meubel.
Meski kondisi perekonomiannya telah mapan, tak
menjadikan Abah Thufail dan keluarganya hidup dalam kondisi bermewah-mewahan.
Ia lebih memilih hidup sederhana di tengah-tengah orang Jawa yang tinggal di
Pacitan. Ia juga sering bersedekah kepada orang miskin yang dijumpainya saat
berjalan menuju masjid untuk melaksanakan ibadah sholat lima waktu. “Abah saya
itu sabar, sama orang lain itu sering berbagi,” kata Siti Khadijah yang lebih
akrab disapa Bu Saleh.
Selain dikenal sebagai pedagang, Abah Thufail juga
dikenal sebagai seorang mubalig yang sering berdakwah ke berbagai daerah. Oleh
sebagian jamaahnya ia sering dipanggil dengan sebutan Kyai Thufail. Sebagai
seorang Kyai penganut Tarekat Naqsyabandiyah, ia juga menggamalkan dzikir dan
tahlil sebagaimana yang diamalkan oleh para pengikut tarekat tersebut. Namun,
bagi sebagian kalangan yang tidak suka dengan dakwah yang dilakukan oleh
Thufail Muhammad, ia dijuluki dengan sebutan “Thufail Muhammad Boombay”.
Walau mendapat julukan yang demikian, ia justru
sering berbuat baik dan memberikan sesuatu kepada orang-orang yang sering
menjulukinya itu. “Dipanggil Thufail Muhammad Boombay itu Abah ya enggak
apa-apa, tapi sama abah dibaiki orang-orang itu semua,” jelas Bu Saleh.
***
Komentar
Posting Komentar