Melakoni Safari Bisnis, Dakwah, dan Menetap di Bali

Batu permata peninggalan Ustadz Abdullah

Berkeliling Indonesia telah menjadi rutinitas Abdullah di masa mudanya. Ia berkeliling Indonesia untuk menjalankan bisnis berjualan batu permata. Perjalanan bisnisnya telah menyisir kota-kota besar di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Bali.
Sampailah di kemudian hari, safari bisnis batu permata ini membawanya menuju Pulau Bali. Pulau ini merupakan tempat yang paling lama disinggahi oleh Abdullah saat melakoni safari bisnisnya. Bahkan, Abdullah  memiliki sebuah toko batu permata yang berada di Kota Denpasar, Bali.

Sampul buku Mengislamkan Jawa
Tidak hanya itu, menurut sejarawan M.C. Ricklefs dalam bukunya “Mengislamkan Jawa”, ketika di pulau Bali Abdullah pernah menjadi ketua daerah Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) di bawah Moh. Natsir yang membawahi kawasan Nusa Tenggara Barat.
“Sambil mengembangkan bisnis ia melancarkan dakwah dan aktif dalam gerakan dakwah, sehingga pernah selama dua tahun memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia di Bali,” tulis redaksi majalah Al Mar’ah yang bersumber dari Aisyah, putri pertama ustad Abdullah, dalam artikel yang berjudul “Ketegaran Al Ustadz” pada majalah Al Mar’ah No. 4/V, edisi Desember 2007.
Semasa menjadi ketua daerah DDII, Abdullah sempat memiliki kedekatan dengan ketua sekaligus pendiri DDII, Moh. Natsir. Menurut ketua umum MTA Pusat, Prof. Drs. Mugijatna, M.Si., Ph.D., setelah mendirikan MTA, ustadz Abdullah sempat bertemu dan mengutarakan kegundahan hatinya kepada Moh. Natsir tentang keberadaan MTA yang sering dimusuhi oleh masyarakat awam.
“M. Natsir pernah bertanya, (bila) pemerintah memusuhimu, umat Islam yang lainnya memusuhimu juga lalu siapa yang menolongmu (Abdullah)?”  Kemudian oleh dijawab oleh Ustadz Abdullah, “Allah”,” ungkap Prof. Drs. Mugijatna, M.Si., Ph.D., yang oleh warga MTA biasa disapa dengan sebutan Ustadz Yoyok.

Anak Pertama Ustadz Abdullah
Menurut Siti Khadijah, kisah Abdullah membangun mahligai rumah tangga yang kedua bermula saat dirinya menjalankan bisnis batu permata dengan orang Bali. Ketika di Bali, Abdullah tidak mau menginap di rumah warga Bali yang menjalin bisnis dengan dirinya. Ia lebih memilih untuk tinggal di masjid ketimbang tinggal di tempat rekan bisnisnya tersebut.
Hingga suatu ketika, saat Abdullah merasa kelelahan dan jatuh sakit. Ia kemudian memilih untuk beristirahat di sebuah batu besar yang berada di tepi sungai. Orang-orang kampung yang tinggal di sekitar sungai itu merasa iba dan memberitahukan kondisi Abdullah ini kepada seorang naib yang bernama Abdurrahman. “Bapaknya ini dikasih tahu sama orang. Tamumu itu kok nggak di rumahmu. Kok malah di mana-mana itu gimana,” cerita Siti Khadijah.
Kemudian Abdurrahman yang menjadi rekan bisnisnya ini menyuruh Abdullah untuk tinggal di rumahnya. Akan tetapi, dengan penuh kesantunan Abdullah menolak ajakan tersebut dan tetap memilih untuk tinggal di masjid.
Abdurrahman tak kehabisan akal untuk menolong Abdullah. Sampai akhirnya ia menyuruh anak gadisnya yang bernama Muawwanah untuk mengirimkan makanan kepada Abdullah. “Mbok kamu itu ke sana, kirimen nasi, kirimen apa-apa. (Abdurrahman) menyuruh gadisnya ini,” ungkap Siti Khadijah menirukan ucapan Abdurrahman kepada anaknya.
Abdullah kaget bukan main. Saat ada seorang gadis Bali yang mengiriminya makanan di tepi sungai. Abdullah menerima makanan itu dan berpesan agar tidak mengiriminya makanan kembali. “Abahnya (Muawwanah) bilang lagi, enggak apa-apa, sudah itu kirimen. Kasihan itu orang,” ungkap Siti menirukan perkataan Abdurrahman.
Namun, Abdullah tetap bersikukuh menolak kiriman makanan dan menyuruhnya untuk mengembalikan makanan itu kepada ayahnya. Abdullah beralasan bahwa gadis bali ini bukan mahromnya dan dia pun takut terjadi fitnah bila mau menerima makanan dari sang gadis bali itu setiap hari.
Setelah mendengarkan keterangan dari anak gadisnya tentang penolakan Abdullah, Abdurahman malah terkesan dengan sikapnya. Kemudian Abdurrahman menemui Abdullah dan memintanya untuk meminang anak gadisnya yang bernama Muawwanah tersebut. “Ya terus jadi anaknya (baca: menikah) orang Bali. Di sana (Abdullah) punya tiga putra,” ungkap Siti sambil tersenyum.
Setelah menikah, Abdullah beserta istri keduanya tinggal di Jalan Hasanuddin nomor 45A Denpasar, Bali. Dari pernikahan kedua ini Abdullah memiliki tiga orang anak yang terdiri atas dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Mereka adalah Sidiq, Lilik, dan Saleh.
Salah satu upaya Abdullah untuk menjaga keadilan antara keluarganya yang tinggal di Solo dan Bali, kemudian Abdullah membawa keluarganya yang di Solo untuk berpindah tempat tinggal dan menetap daerah Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Tak kurang dari tiga tahun keluarga Abbdullah yang dari Solo menetap di Bangil.
“Keluarga di Surakarta diboyong ke Bangil, Jawa Timur selama kurang lebih tiga tahun supaya lebih dekat dan mudah dalam melakukan silaturrahmi keluarga,” tulis redaksi majalah Al Mar’ah yang bersumber kepada anak pertama Ustadz Dullah, Aisyah, dalam artikel yang berjudul “Ketegaran Al Ustadz” pada majalah Al Mar’ah No. 4/V, edisi Desember 2007.
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaidah Penulisan Arab Melayu

Ringkasan novel Edensor

Biografi, Karya, dan Pemikiran Abdul Rauf Al-Singkili