Boyongan ke Solo
Penulis saat mewawancarai ibu Khadijah |
Mengenai masa kecil Abdullah, Siti Khadijah
berkisah bahwa adiknya termasuk anak yang ramah dan banyak bergaul dengan
teman-teman sebayanya. Baik dengan teman pribumi maupun dengan teman keturunan Timur
Tengah yang tinggal di Pacitan.
Terlahir di zaman penjajahan memang tak seenak pada
zaman kemerdekaan seperti saat ini. Kadang Abdullah kecil merasa kasihan
tatkala melihat teman-temannya yang hidup dalam keadaan miskin. Maka, ia sering
meminta kepada ayahnya untuk memberikan sesuatu kepada mereka untuk
menyenangkan hati kawan-kawannya.
Salah satu sahabat dekat Abdullah Thufail waktu
kecil bernama Salim. Ia adalah anak laki-laki dari keturuan Pakistan yang
tinggal di Pacitan. “Kenalannya banyak setelah pindah di Solo. Karena waktu di
Solo sekolahnya di Al-Irsyad,” ungkap Siti Khadijah yang akrab disapa Bu Saleh
ini, sembari menceritakan kenangan masa kecilnya yang sering berebut lauk
kepala ayam dengan Abdullah.
Sejak kecil Abdullah memang sudah terlihat sangat
berbakti kepada kedua orangtuanya. Ia juga mewarisi keahlian Abah Thufail dalam
hal berdagang. Pernah suatu ketika Abdullah kecil meminta izin kepada Abah
Thufail untuk mengambil dagangan ayahnya untuk dijual. Kemudian dia mengambil
beberapa tas dan dibawanya ke pasar.
“Bisa lho dia menjual tas, sini bawa (pundak kanan)
sini bawa (pundak kiri). Jadi semua badannya ditaruhi tas. Dia obral-obral di
pasar itu habis terjual,” ujarnya sambil terkekeh tatkala mengingat kelakuan
semasa kecil Abdullah.
Oleh orang tuanya, Abdullah sejak kecil sudah
dididik dengan keras untuk memahami dan menjalankan ajaran agama Islam.
Kepribadian Abdullah kecil ditempa oleh ayahnya dengan pendidikan akhlakul
karimah dan sikap hidup sederhana dalam kesehariannya.
Abdullah mulai mengenyam pendidikan di sekolah
dasar Belanda untuk bumiputera atau dalam bahasa Belanda disebut Hollandsch-Inlandsche School (HIS) yang
berada di Pacitan. Kemudian melanjutkan sekolah di Taman Siswa. Sekolah ini
berada di Kecamatan Batu, Kabupaten Wonogiri yang berbatasan dengan Pacitan. “Kemudian
ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama dan Menengah Atas di Al-Irsyad di
Surakarta. Selepas SMA, Abdullah Thufail Saputro sempat mengenyam pendidikan
tinggi di Universitas Cokroaminoto Surakarta tetapi tidak tamat karena
mengembangkan bisnis dan dakwah di masyarakat,” kata Munir Ahmad, anak kelima
Abdullah Thufail Saputro, di dalam disertasi “Kepemimpinan Imamah dalam Gerakan
Purifikasi Islam di Pedesaan” karya Mutohharun Jinan.
Ijazah Karyawan Dakwah milik Thufail Muhammad |
Lambat laun Thufail Muhammad merasa semakin sedikit
masyarakat keturunan Timur Tengah yang tinggal di Pacitan. Kemudian pada tahun
1950 Abah Thufail memutuskan untuk pindah dan memboyong keluarganya ke
Baturono, Kecamatan Pasarkliwon, Kota Solo. “Pindah di Solo saja. Banyak
saudara-saudara dari Pakistan,” ungkapnya.
Di Solo Abah Thufail sudah tidak memiliki toko lagi
sebagai sarana mencari rezeki. Toko yang ia miliki telah dijual untuk memenuhi
biaya pindah ke Kota Solo dan sebagian lainnya digunakan sebagai modal usahanya
yang baru. Abah Thufail berubah haluan dalam mencari nafkah. Ia memilih mencari
uang dengan cara berjualan batu permata secara keliling dan berpindah dari satu
kota ke kota lainnya. “Kalau di Solo, Abah Thufail itu keliling berjualan batu
berlian, emas itu,” katanya.
***
Komentar
Posting Komentar