Malem Siji Suro
Karya: Abdul
Wahid
Ketika cahaya senja mulai hiasi langit kota Solo di
sebelah barat, aku baru benar-benar merasa menginjakkan kaki di kota Solo.
Sudah 10 tahun aku meninggalkan kota ini untuk mengais rejeki di kota penuh
kemacetan, Jakarta.
“Kota Solo memang ngangeni,” batinku.
Hiruk-pikuk aktivitas jual beli yang dilakukan oleh pedagang
sayuran di pasar Legi masih terlihat ramai. Pasarnya pun masih seperti 10 tahun
yang lalu. Hampir tak ada perubahan. Aku potret beberapa lelaki penuh peluh
yang menurunkan karung berisi hasil bumi dari atas truk. Mereka bertelanjang
dada dengan otot-otot yang terlihat seakan mulai tergerus oleh kesenjaan usia.
Aku yakin, mereka melakukan pekerjaan itu demi mencari rezeki yang halal bagi
keluarganya.
Sepanjang perjalanan aroma makanan Srabi mengiringgi laju
becak yang mengantarkanku dari stasiun Balapan menuju masjid Al Wustho
Mangkunegaran. Masjid tua yang didirikan oleh raja di Pure Mangkunegaran pada
masa kejayaannya.
“Sepuluh ribu kan tadi tarifnya?” tanya sembari mengingat
kejadian tawar menawar tarif di depan stasiun Balapan yang berhasil aku
menangkan. Sejatinya tukang becak ini memintaku membayar 30 ribu. Tapi aku
tawar 10. Akhirnya ia mau menerima tawaranku walau terjadi kegiatan tawar
menawar yang sengit.
“Wah,
yo ojo sepuluh ewu mas. Ditambahi sekedik mas. Dhamel tumbas es teh (Wah, a jangan sepuluh ribu mas, Ditambah sedikit
uangnya mas. Buat membeli es teh),” pinta tukang becak sembari menerima
selembar uang 10 ribuan.
“Pakdhe kie kepiye
tho? Jare mau sepuluh ewu purun? Tak
tambahi limang ewu ya dhe (Pakdhe itu bagaimana? Katanya tadi sepuluh ribu
mau?. Saya tambahi lima ribu ya.”
“Nggih mas, matur
nuwun ya (iya mas, terima kasih ya),” kata tukang becak dengan seutas
senyum yang mengembang dari wajahnya.
“Sami-sami Pakdhe, mugi-mugi rejekine lancar (sama-sama
Pakdhe, semoga rejekinya lancar).”
“Ngamiin,” katanya sambil mengayuh becak melewati gapuro
putih masjid Al Wustho yang bertuliskan kalimat dengan huruf arab berwarna
hijau.
Aku langkahkan kakiku menuju tempat wudhu masjid Al
Wustho. Inginku segera berlari untuk segera membasuh muka, rambut, tangan, dan
mata kaki dengan kesegaran air wudhu. Badan ini rasanya sudah benar-benar rindu
untuk segera menunaikan sholat Ashar di dalam masjid Al Wutho. Terakhir aku
sholat di tempat ini adalah 10 tahun yang lalu. Ketika aku akan meninggalkan
kota Solo.
“Beduk, ketongan, dan ornamen keramik bagian serambi
masjid masih terlihat sama. Enggak ada perubahan. Di dalam masjid pun juga.
Tiang dan mimbar masih terlihat perkasa disinggasananya,” gumamku sambil
melangkahkan kaki menuju shaf paling depan.
Kuputar wajahku ke kanan dan ke kiri untuk mencari teman
sholat. Namun, hanya suara derit kipas angin tua yang kutemui. Tak ada seorang
pun di dalam masjid tua ini. Kutaruh tas ransel di depanku dan aku menunaikan
sholat Ashar seorang diri.
Seusai menunaikan ibadah sholat Ashar, aku langsung
menuju ke serambi masjid. Aku rebahkan badanku di lantai keramik yang rasanya
membuat punggung terasa dingin. Kupejamkan mataku sejenak untuk mengusir letih
setelah menempuh perjalanan 12 jam naik kereta ekonomi dari Jakarta.
“Bid, bangun Bid! Ini aku Udin!,” kata Udin sambil
memukul-mukul perutku yang semakin membuncit.
“Woaah! We la da la Udin!. Kapan kwe teko Din Udin (kapan
kamu datang Udin)?” jawabku kaget seraya mengusap kedua mata yang diikuti
kumandang adzan sholat Magrib.
“Lagi wae bro. Durung suwe kok. Kapan dirimu teko kene
(baru saja bro, belum lama kok. Kapan dirimu sampai di sini?” sambil memberiku
semangkuk Wodang Ronde.
“Aku tadi sampai sini sekitar jam 4. Terus aku sholat dan
ketiduran di sini. Capek bro, kursi gerbong kereta yang baru ini sempit
banget,” jawabku sambil menyeruput Wedang Ronde. “Enak banget Bro Wedang ronde
ne,” seruku sambil mengunyah bola ronde yang bernama grendul.
“Nak wis rampung
sholat dhisik ya (kalau sudah selesai sholat dulu ya),” kata Udin yang
sudah menandaskan semangkuk Wedang Ronde.
“Oke bro.”
Setelah menunaikan sholat Magrib, aku bersama Udin
kemudian melangkahkan kaki menuju depan masjid Al Wustho. Ikut bergerumun
bersama orang-orang yang mengantri membeli jagung bakar. Antriannya mengular kayak
antrian pembagian sembako gratis.
Aku bidik beberapa pembeli yang sedang menikmati jagung
bakar. Ada pembeli pria yang makan jagung bakar berdua bersama kekasihnya
sambil senyum-senyum penuh kemodusan. Ada pula yang makan jagung bakar satu
keluarga.
“Bid, ini jagung bakarmu,” seru Udin membuyarkan
bidikanku terhadap seorang anak yang kepedasan makan jagung bakar.
“Oh iya, makasih ya bro,” jawabku lalu menutup lensa
tele-ku dan menerima sepotong jagung bakar khas Solo. “Langsung nonton Jamasan
di Puro Mangkunegaran yuk,” ajakku.
“Ayo,” balas Udin.
Kami berdua berjalan kaki menyusuri seperempat tembok
putih Puro Mangkunegaran. Dari kejauhan sudah terlihat orang-orang mulai
berdatangan menuju gerbang depan Puro Mangkunegaran. Setelah berjalan 20 menit,
akhirnya kami sampai di gerbang depan Puro Mangkunegaran. Sejenak kami berhenti
di Ngarsopuro untuk mengamati orang-orang yang sudah berkumpul di pamedan barat
dan timur. Maklum, perayaan kirab 1 Suro yang merupakan acara menyambut tahun
baru pada penanggalan Jawa ini selalu di tunggu-tunggu terutama oleh masyarakat
di Solo Raya. Salah satu tujuan mereka menghadiri acara ini adalah untuk
mengharapkan berkah atau dalam istilah Jawanya ngalap berkah.
“Ikut rebutan air bekas Jamasan yuk Bid,” ajak Udin
kepadaku.
“Kamu saja yang rebutan air bekas Jamasan. Aku mau ambil
gambarnya saja,” jawabku sambil menggelengkan kepala.
Aku ambil kamera dslrku. Saat itu pula Udin sudah berlari
menuju gerbang Puro Mangkunegaran. Aku beranjak menuju orang-orang yang rebutan
air kembang bekas digunakan untuk mencuci pusaka yang dimiliki oleh Puro
Mangkunegaran.
Menurut orang-orang di sini, air bekas Jamasan memiliki
keberkahan tersendiri bila di minum. Hal ini mungkin bagi orang modern tak
masuk nalar. Namun, bagi mereka hal ini adalah sebuah kebenaran yang wajib di
coba tanpa perlu banyak tanya.
Ketika malam kian menampakkan dirinya tanpa rembulan
bulat di langit. Para abdi dalem mulai membuang air bekas Jamasan di depan
gerbang Puro Mangkunegaran. Orang-orang yang telah berada di depan gerbang langsung
berhimpitan dan saling dorong untuk mendapatkan air bekas jamasan. Suasana yang
semula tenang kini menjadi heboh lantaran banyak orang yang ingin mendapatkan
air tersebut.
“Minggir-minggir,
aku durung entuk banyune (minggir-minggir, aku belum mendapatkan airnya,”
seru seorang wanita sambil membawa sebuah botol kosong serta ciduk kecil dan
corong.
“Woei! Aduh!
Sikilku ojo dipidak! (Woei! Aduh! Kakiku jangan diinjak!),” seru seorang
lelaki tua.
Aku potret keseruan orang-orang yang rebutan air bekas
Jamasan. Lalu lensa kuarahkan ke seorang wanita yang sedang mengendong bayi. Wajahnya
terlihat sumringah dengan sebotol air bekas Jamasan yang berwarna cokelat di
tangganya. Lalu ia meminum air itu.
“Mugo-mugo kwe dadi
cah wedok sik ayu, pinter lan gemati marang wong tuo yo! (Semoga kamu
menjadi anak perempuan yang cantik, pinter dan berkasih sayang dengan orang
tua),” kata seorang ibu sambil meminumkan air bekas Jamasan yang berwarna
cokelat kepada bayi mungil yang digendongnya.
“Hoei! Minggir-minggir! Kanjeng Gusti mau lewat! Minggir
semuanya!,” teriak seorang prajurit Puro Mangkunegaran dengan suara lantang.
Seketika orang-orang yang awalnya sedang riuh rebutan air
bekas Jamasan langsung menyingkir. Memberikan jalan kepada Kanjeng Gusti, sang
penguasa Puro Mangkunegaran.
“Sumonggo Kanjeng Gusti,” ucap seseorang yang tadi ikut
rebutan air bekas Jamasan.
Kanjeng Gusti memasuki Puro Mangkunegaran dengan
mengendarai mobil mewah berplat nomor AD 1 MNG. Sempat bidikan kameraku
mengarah pada Kanjeng Gusti saat dirinya membuka jendela mobil sambil
melambaikan tanggan. Kedatangan Kanjeng Gusti di Puro Mangkunegaran pada tengah
malam ini menandakan bahwa acara Kirab Pusaka 1 Suro 1945 segera dimulai.
“Ikut prosesi kirab pusaka enggak bro?” tanya Udin
mengangetkanku.
“Enggak usah. Kita nonton saja dari depan gapura. Aku
capek.”
Satu persatu prajurit Puro Mangkunegaran keluar dengan
membawa senjata berupa tombak. Mereka bertugas untuk mengamankan dan mengawal
jalannya kirab pusaka. Ada sebagian prajurit yang membawa lampu minyak.
Sedangkan prajurit yang membawa pusaka merupakan prajurit pilihan yang dipilih
langsung oleh Kanjeng Gusti. Lalu, dibelakang prajurit ada masyarakat umum yang
mengekor dengan berdesak-desakan tak teratur.
Aturan menggikuti kirab pusaka adalah dilarang bersuara
atau Topo Bisu dan dilarang merokok atau Ses. Para peserta kirab harus pula
menjaga etika sopan santun saat berjalan. Jikalau ada yang melanggar, maka
orang itu di usir untuk meninggalkan rombongan kirab pusaka 1 suro karena
dianggap sebagai penganggu.
“Bid, ibu itu kenapa ya?” tanya Udin saat prajurit Puro
Mangkunegaran kembali ke dalam keraton setelah mengitari tembok Puro
Mangkunegaran.
“Aku enggak tahu. Coba kita lihat ke sana,” jawabku
sembari membereskan perangkat kameraku.
“Minggir! Anakku! Kok kwe meneng wae kie pie! (Minggir! Anakku!
Kenapa kamu diam saja),” teriak sang ibu di tengah kerumunan peserta kirab. Ibu
yang tadi sempat aku potret tatkala meminum air bekas Jamasan.
“Masya Allah, tubuhnya dingin banget. Segera di bawa ke
rumah sakit saja Bu. Semoga bisa mendapat pertolongan,” kataku saat memegang
tangan si bayi dan tak menemukan adanya denyut nadi.
“Bu ne, anak e awak
e dewe iki wis mati (Ibu, anak kita ini sudah meninggal),” kata sang suami
dengan nada pilu.
Kemudian datanglah seorang anak muda dengan sepeda motor.
Ia lalu menyuruh si ibu yang mengendong putranya itu untuk naik sepedanya.
“Langsung di beto ke rumah sakit nggih Bu (langsung di
bawa ke rumah sakit ya Bu),” kata anak muda itu.
Tanpa menunggu jawaban, anak muda itu langsung mengeber
motornya melewati ribuan orang yang memadati jalan di depan Puro Mangkunegaran.
Klakson ia bunyikan dengan sangat keras dan berulang. Tak lupa dia juga
berteriak, “Pakdhe, mbokde nuwun sewu. Mang minggir riyen. Niki enten tiang
sakit! (Pakdhe, Mbokdhe minta tolong untuk minggir dulu. Ini ada orang
sakit!).”
“Cari Sego Liwet yuk. Aku laper nih,” pintaku pada Udin.
“Ayo. Di pojokan kalurahan Keprabon situ ada yang jualan
Sego Liwet. Yang jualan Mbok Jum namanya,” jawab Udin yang terlihat gemetaran
saat melihat kejadian itu tadi.
Segera kami ke
tempatnya Mbok Jum jualan Sego Liwet. Ternyata sudah banyak yang makan di tempat
itu. Kami memesang dua porsi Sego Liwet. Lima menit berselang pesanan kami
datang.
“Habis ini tolong antarkan aku ke stasiun Purwosari ya
Din. Keretaku berangkat jam 4 pagi,” pintaku.
“Oke. Kasihan ya bayi itu tadi. Terkapar gara-gara ikut
ibunya berdesak-desakan pas kirab pusaka 1 suro,” kata Udin sambil memasukkan
sesendok Sego Liwet dengan lauk Uritan.
“Semoga menjadi pelajaran buat si ibunya agar jangan
memaksakan diri membawa anak kecil ikut acara malem siji suro,” jawabku sambil
tersenyum. Namun, jauh di dalam hati aku bergumam, “Semoga istriku yang sedang
hamil 7 bulan tak berperilaku seperti itu.”
Komentar
Posting Komentar