Malaikat Cinta yang Kuberi Nama Ibu

Karya: Abdul Wahid

Di dalam diam aku mengagumimu. Keteduhan hati yang terlihat di balik wajah yang disinari oleh temaram rembulan. Indah. Sungguh sangat indah. Seindah bulan purnama. Ketika diam adalah sebuah keteduhan. Aku ingin hadir dalam diammu. Hadir untuk turut berteduh di bawah relung-relung hatimu yang penuh akan keteduhan. Keteduhan hati seorang ibu. Karena di dalam diam aku mengagumimu. Ibu.

Pagi ini. Di desaku. Embun pagi masih bertebaran di dedaunan. Kabut tipis membawa aroma dingin menusuk tulang. Pelan-pelan fajar menghilang. Tergantikan oleh mentari yang masih malu untuk menampakkan diri. Burung-burung mulai mengepakkan sayap-sayapnya. Berterbangan mengiringi langkah pak Tani menuju sawah.


"Mas Abid mau bangun jam berapa?" kata ibuku dengan seutas senyuman membangunkanku.

"Bentar Bu, masih ngantuk, aku mau tiduran dulu," jawabku ketus.

"Seharusnya mas Abid itu sudah waktunya untuk mencari uang sendiri lho. Masak minta uang terus sama Bapak. Apa enggak malu?" pungkas ibu.

Setelah perkataan itu terucap dari Ibu. Aku langsung bergegas melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membasuh muka dan berwudhu. Dinginnya air wudhu membasahi mukaku. Sesaat kutatap cermin yang terpaku di sudut kamar mandi. Kutatap dalam-dalam wajahku yang terpancar dari cermin itu. Dalam. Dalam. Sangat dalam sekali. Tatapanku sedalam samudra.

Sungguh perkataan ibu tadi telah membuat hatiku gundah gulana. Tak terasa, ternyata sudah empat tahun aku merasakan suka duka bangku kuliah. Masa kuliah bagiku memang menyenangkan. Banyak keseruan yang terukir indah di masa ini. Namun, kini masa kuliah yang sangat menyenangkan itu ingin segera aku sudahi. Aku sudah bosan dengan yang namanya bangku kuliah. Bahkan, yang membuatku pilu adalah belum kukepastian kapan skripsiku selesai. Sungguh ironi. Inginku teriak. Teriak!
“Dasar aku bodoh!.”
***

Empat tahun lalu saat aku berangkat sekolah menaiki sepeda onthel. Sepanjang jalan kuresapi hiruk pikuk aktivitas orang berangkat sekolah dan bekerja di kota. Kuamati betapa tergesa-gesa mereka mengawali aktivitasnya. Sejenak aku berfikir, apakah semua hiruk pikuk seperti ini yang akan aku alami dikemudian hari kelak.

 Kuparkirkan sejenak sepeda onthel di tepian lampu merah dekat taman Sekar dan saat itulah aku kembali mengingat keluargaku yang di desa. Hampir enam tahun aku merantau ke kota ini untuk mencari ilmu. Tak terasa, tahun ini adalah tahun terakhirku menimba ilmu di kota Solo.

Pendar-pendar mentari kian terasa menyengat kulit. Lalu lalang pengguna jalan semakin berkurang. Tak kusangka tiga jam aku termenung di taman Sekar. Hari ini aku putuskan untuk membolos agar aku dapat berfikir jernih tentang masa depanku setelah lulus SMA nanti.

Sebelum ujian nasional kemarin, aku mendapat kesempatan masuk perguruan tinggi tanpa tes karena aku sering mendapat rangking di kelas. Aku mendaftar di jurusan Teknik dan jurusan Farmasi di salah satu universitas top di Surabaya. Namun sayang, kedua jurusan itu tak menerimaku menjadi mahasiswa di sana.

Kegalauanku kian pelik tatkala aku harus berurusan dengan orang tua yang tak punya biaya untuk menyekolahkanku di perguruan tinggi. Bingung. Bimbang. Hampir putus asa.
***

Tanggal 1 bulan Juni 2011 telah menampakkan wujudnya. Sinar sang mentari kian temaram ditelan ufuk barat. Teriakan kesenangan menyeruak dari mulut remaja yang sedang mencari jati dirinya. Teriakan kemenangan karena menerima surat keterangan lulus dari bangku SMA.

Aku berteriak sekerasnya setelah membuka surat keterangan lulusku. Raut muka kegirangan kutampakkan ke semua orang yang kujumpai di sekolah. Aku temui teman-teman seperjuanganku selama tiga tahun di SMA. Aku cium tangan dan peluk para guru-guruku.

Setelah itu, aku memilih menyendiri di pojokkan sekolah ketimbang bergumul bersama teman-teman yang sedang mencoret-coret baju seragam mereka. Dibalik keceriaanku pagi ini, ada sebuah kegalauan yang menyeruak dalam hatiku. Aku merenung menatap surat keterangan lulusku seraya bertanya pada diriku.

“Apakah aku bisa menjadi mahasiswa?,” kataku dalam hati.

Tak lama setelah aku memutuskan untuk menyendiri di pojokkan sekolah. Ada seorang temanku yang bernama Unggu datang menghampiri. Aku sapa ia, dan ia mengajakku untuk turut merayakan kelulusannya dengan mencoret-coret baju seragamnya.



Abid, kenapa kamu enggak ikut teman-teman?”

“Aku enggak mau ikut coret-coret baju Aku tak mau ikut mereka. Karena aku tau, masih banyak orang di luar sana yang membutuhkan bajuku. Aku enggak mau melukai perasaan mereka karena perbuatan mencoret-coret baju seragam ini.”

Akhirnya Unggu menarik tanganku. Memaksaku untuk ikut merayakan kelulusan. Bau gas bercampur cat membaur di sekelilingku. Pening nian kepalaku menghirup aroma ini. Satu persatu anak-anak menyemprotkan cat ke bajuku. Aku tak kuasa mencegah ulah mereka. Baju putihku yang elegan kini berubah menjadi baju sampah. Penuh coretan tanda tangan dan cat semprot. Ingin hatiku berteriak. Namun sayang, tiada daya yang bisa kulakukan.
***

Aku mengawali masa kuliahku dengan hati riang gembira. Semua beban yang sedang aku rasakan, ku pendam dalam-dalam agar nalarku tak terganggu olehnya. Aku ingin menikmati keceriaan hari ini. Karena kini aku telah menjadi seorang mahasiswa.

Tepatnya menjadi mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Negeri Solo atau UNS. Segudang kegalauanku yang tertumpuk seakan-akan lenyap tersapu ombak pantai laut selatan. Berganti dengan kesenangan menjadi seorang mahasiswa baru.

Baju putih, celana putih di padu dengan setelan jas almamater UNS menjadi seragam perdanaku saat mengikuti upacara di depan kantor rektorat. Mimpi besar menjadi seorang sarjana membumbung tinggi di angkasa raya. Tatkala rektor UNS memberikan sambutan dan motivasinya kepada kami. Para mahasiswa baru.

“Kalian semua adalah calon-calon sarjana yang akan menjadi pengengam dunia pada masa depan. Bersemangatlah dalam menuntut ilmu di kampus hijau ini!” kata sang rector di tengah terik sinar mentari.

Dengan wajah yang masih lugu-lugu. Kami para mahasiswa baru ini mendengarkan dengan hikmat sambutan selamat datang dari pak rektor kala itu. Sampai akhirnya kami dikumpulkan berdasarkan fakultas dan jurusan masing-masing oleh para kakak tingkat yang telah menunggu sembari membawa penanda jurusan kami. Tatapan mata dan senyum simpul mereka seakan memberikan sinyal akan segera menerkam kami para mahasiswa baru.

“Sastra Indonesia! Maru jurusan Sastra Indonesia kumpul di sini!,” seru seorang kakak tingkat.

Akupun mulai berkenalan satu persatu dengan sabahat baruku di jenjang kuliah. Riang gembira mereka menyambut uluran tanganku untuk mengajaknya berkenalan. Gedung besar menjulang tinggi menyambut kedatangan kami di pelataran fakultas. Rimbun dedaunan membuat perasaanku kembali inggat tentang desa. Di tempat itu aku lahir dan tumbuh besar seperti sekarang. Entah sudah berapa tahun aku tak merasakan kesejukkan desa tempatku bermain bola sepak bersama teman. Aku rindu, sungguh rindu. Merindu gelak tawa tanpa dosa anak desa ketika bermain di bawah cahaya temaram rembulan purnama.
***

Aku terjerembab dari ingatan masa lalu tatkala suara motor berderu-deru. Bau asap knalpot keluar membersamai suaranya. Ibu berangkat. Dengan tas jinjin merah berisi sarapan untuknya dan ayah. Jilbab lebar yang dikenakannya pun berkibar diterjang angin. Ia meninggalkanku seorang untuk membantu ayah berjualan di toko.

Tak lama memang percakapan di pagi itu terjadi. Namun, beberapa hari ini pikiranku sering tertuju pada perkataan ibu di pagi itu. Perkataan yang ringan terucap dari tuturan Ibu. Walau ringan, kalimat itu bagaikan cambuk dari sesosok malaikat cinta tanpa sayap yang kusebut Ibu.

“Aku harus cepat lulus!” teriakku kencang.

Lalu ku ukir sebuah kalimat dengan tetesan air mata semangatku di atas kertas berwarna cokelat. Ku tulis dengan huruf yang besar.


“Ya Allah, ijinkan ucapan malaikatku itu sebagai cambuk yang membuatku bersemangat merampungkan kuliah dan mengejar masa depan!.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaidah Penulisan Arab Melayu

Biografi, Karya, dan Pemikiran Abdul Rauf Al-Singkili

Ringkasan novel Edensor