Inspirasiku dalam Dekapan Jingga, Senja, dan Hujan

Ketika di tanya, “siapa inspirasimu dalam menulis?” pasti akan kujawab, “Ayah.” Walaupun Beliau belum pernah menulis sebuah puisi ataupun cerita. Tetap, bagiku sumber inspirasi terbesarku dalam menulis tetaplah ada pada sosok Ayah. Karena dialah yang mengajariku untuk selalu berjuang dalam meraih mimpi-mimpi indahku. Salah satu mimpi terbesar yang inginku segera rengkuh adalah menulis cukup. Karena aku tak ingin di sapa sebagai penulis namun tak pernah menulis.


Waktu yang sangat kunantikan dalam menulis adalah saat langit timur berwarna jingga di saat senja menyapa. Ditambah iringan gemericik air hujan yang akan membawaku kepada persada kesendirian. Bagiku, inilah waktu yang paling nyaman dan tepat untukku menjauh dari kebisingan dan keramaian manusia.

Setiap kali sandikala menyapa, inginku rasanya segera menepi untuk menyingkir dari kepenatan aktivitas harianku. Inginku hanya satu. Menuangkan segenap ide-ide yang kuperoleh sejakku membuka mata di pagi tadi. Jari-jari ini seakan-akan gatal jikalau tak segera menuliskan setiap jengkal ide yang kuperoleh. Karena aku takut di tinggal pergi oleh langit yang berwarna jingga.

Senja. Bagiku adalah waktu yang sangat nyaman untuk bergelut dengan kesunyian yang syahdu. Kesunyian yang penuh semangat akan aktifitas batinku dalam mencorat-coret secarik kertas dengan pena. Bila aku tak membawa kedua benda itu, rasa sedih pun bergelayut sangat dalam di dalam relung-relung hatiku. Karena aku takut, jikalau sang pemilik kalbu lebih dahulu menjemputku sebelum aku menorehkan ide-ide gilaku.

Ketika hujan menyapa, aku sering teringat dengan sebuah puisi yang berjudul Hujan di Bulan Juni. Sebuah puisi yang sarat akan makna sebuah rasa yang terpendam. Rasa yang berupa rindu dan cinta yang tersimpan tak tersampaikan.

Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon yang berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
(Sapardi Djoko Damono, 1994)


Menulislah! bebaskan imajinasimu yang sering terkubur. Tulislah impianmu dan jadikan tulisanmu itu sebagai pelecut semangat hidupmu. Ingatlah, ketika kita berani menulis impian-impian kita di atas kertas, saat itulah tak ada keraguan sedikit pun yang mampu menghalangi. Oleh karena itu, marilah kita menjadi salah satu dari tetesan air hujan di bulan juni yang memiliki sifat tabah, bijak dan arif saat menyampaikan pesan-pesan dakwah dengan tulisan. Terakhir, seharusnya kita berani meraih impian seberani kita menuliskannya di atas kertas. Semoga Allah SWT meridhoi setiap langkah yang kita lakukan untuk meninggikan agama Islam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaidah Penulisan Arab Melayu

Ringkasan novel Edensor

Biografi, Karya, dan Pemikiran Abdul Rauf Al-Singkili