Bapak, Teladan Keduaku setelah Nabi Muhammad SAW

Teladanku, ia bersama saudara kembarnya terlahir di dunia pada 11 Februari 1964. Pak e dan Mak e nya adalah seorang pribumi yang berprofesi sebagai pegiat seni pertunjukan Ketoprak. Mereka melakoni usaha ini dengan membangun sebuah gedung Ketoprak yang mampu menghibur masyarakat yang tinggal disekitarnya. Hampir tiap akhir pekan ramai sangat masyarakat yang berbaris membeli tiket masuk untuk sekadar melihat pertunjukan Ketoprak. Kini, walau sudah tak terurus, gedung Ketoprak berwarna hijau itu masih tetap berdiri kokoh ditepian hutan karet dekat terminal Batujamus. Ia menjadi saksi bisu perjuangan Pak e dan Mak e mengais pundi-pundi rezeki dan membentangkan lahan sawah hingga akhirnya gedung Ketoprak itu ditutup dengan alasan yang tak masuk akal.



Setelah gedung Ketoprak itu ditutup, Pak e dan Mak e berpindah tempat usaha sekitar 500 meter dari lokasi gedung Ketoprak itu untuk kembali mengais rezeki. Mereka berdua memulai usahanya kembali dengan berjualan. Toko yang memiliki lantai 2 dibagian depan ini oleh Pak e dan Mak e tak dibangun dengan tembok yang kokoh. Namun, hanya dibangun dengan bahan kayu pohon Jati. Di toko barunya ini pula mereka mendapat sanksi kalau tokonya tidak boleh dialiri listrik, sanksi yang sungguh aneh bagiku. Barang-barang yang laris terjual pada waktu itu adalah lampu Petromax, minyak, arang, kembang api, dan perlengkapan berkebun. Toko yang terletak di sebelah timur terminal Batujamus itu telah berubah dan sedang di kontrak.

Aku sering menangis tatkala memasuki toko ini. Aku selalu teringat kepada sosok Pak e dan Mak e yang sering aku sebut mbah. Berkat didikan keras Pak e dan tuturan luhur dari Mak E, kini putra, putri serta cucu dan cicitnya telah mampu menapak jalan terjal kehidupan. Sungguh aku rindu dengan kalian berdua. Rindu. Rindu yang sangat.

Kembali kepada Bapak. Saudara kembarnya telah meninggal dunia sewaktu Bapak masih kecil. Kuburannya terletak disamping makam Pak e dan Mak e yang berada di dusun kecil yang diberi nama Kawis. Desa tempatku mengukir sebagian masa kecilku bersama Pakdhe dan Budhe.

Bagiku, Bapak merupakan salah satu sosok yang berpengaruh dalam membentuk kepribadianku. Ia selalu memberiku cerita atau dongeng yang sarat akan nasihat dan hikmah saat aku melakukan kesalahan. 23 tahun sudah aku hadir membersamai kehidupannya. Sampai detik ini, aku belum pernah bisa membalas segala kebaikan dan kerja keras yang Bapak lakukan untuk mendidikku.
Bapakku, berbekal ijazah strata satu (S1) dari Universitas Muhammadiyah Surakarta ia dulu pernah menjadi guru. Ia sempat mengajar di beberapa sekolah secara bergantian. Hingga akhirnya ada satu sekolah yang menjadi tempat terakhir baginya untuk mengajar di sekolah formal. Sekolah itu adalah sebuah SMP Negeri yang terletak di Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar.

Bapakku, ia pernah bercerita jikalau sewaktu mengajar pada akhir tahun 80-an hingga 93 ia diberi gaji tiap bulan sebagai guru sebesar Rp. 15.000. Menurutnya, gaji sebesar itu terbilang kecil bila dibandingkan penghasilan yang ia peroleh dari berjualan di pasar bersama Ibu. Uang Rp. 15.000 baru bisa diperoleh pada awal bulan bila ia menjadi guru. Sedangkan bila menjadi pedagang ia mampu mendapatkan uang Rp. 15.000 dalam tempo satu hari. Demi memenuhi kebutuhan keluarga, ia lebih memilih menekuni dunia bisnis ketimbang menjadi pendidik di sekolah formal.

“Kalau pas gajian, amplop gajiannya Bapakmu langsung dikasih ke ibu. Isinya Rp. 15.000,” cerita Ibu saat sesi curhat.

Bapakku, diawal membangun mahligai rumah tangga memang terasa berat. Pernah beberapa tahun menginap di rumah sang mertua. Tak bertahan lama. Kemudian aku dibawanya berpindah dengan mengontrak sebuah rumah yang beralaskan tanah dan berdindingkan gedhek. Di rumah ini aku sempat masuk rumah sakit gara-gara menenggak minyak yang ditaruh di dalam tempat minumku. Saat itu, adalah masa dimana aku bisa tersenyum lebar tanpa beban hanya gara-gara diajak muter-muter oleh Bapak dan duduk di tangki sepeda motor merk Yamaha yang berwarna merah. Baru pada tahun 2000-an rumah yang dibangun oleh Bapak sudah bisa ditempati hingga saat ini.

Bapakku, walau ia sudah tak mengajar di lembaga pendidikan formal, bagiku ia tetaplah seorang guru. Disela-sela kegiatan berdagang, ia memilih menyibukkan diri dengan terjun dalam kegiatan dakwah Islam. Ia menjadi guru daerah yang hampir setiap sore mengajar pada beberapa cabang yang dimiliki oleh sebuah lembaga dakwah Islam tanpa mengharap uang sebagai upahnya. Dikemudian hari ia menjelaskan hal ini dengan mengutip QS. Al Furqan ayat 57 yang artinya, Katakanlah: "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya.”

Bapakku, dulu aku sempat bingung dan marah dengan prinsip Bapak. Pernah suatu ketika ia lebih memilih pergi mengaji ketimbang menjaga Ibu yang sedang tergeletak sakit di rumah sakit. Sungguh keterlaluan batinku saat itu. Sempat aku berpikir bahwa kau seperti lilin yang mampu menyinari sekelilingnya namun dirinya sendiri mati di makan nyala api. Seiring dengan berjalannya waktu aku pun paham akan prinsip Bapak yang mulia ini. Aku menemukan makna dari prinsipmu yang indah ini tatkala aku bersama denganmu saat mengajar di lembaga dakwah Islam itu. Yaitu prinsip mendahulukan Allah SWT daripada hal yang lain. Sungguh tampan sekali prinsip ini.


Bapakku, maafkanlah segala khilaf yang telah diperbuat oleh putramu ini. Izinkan aku selalu berbakti kepadamu. Hingga Allah SWT memisahkan kita dan mempertemukan kita kembali dalam dekapan rahmat-Nya di akhirat kelak. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaidah Penulisan Arab Melayu

Biografi, Karya, dan Pemikiran Abdul Rauf Al-Singkili

Ringkasan novel Edensor