Tragedi Literasi di Solo, Antara Budaya Literasi dengan Budaya Membangun Gedung
Oleh:
Abdul Wahid*
Baru-baru ini telah terjadi tragedi
literasi di Kota Solo. Sebuah museum tertua di Indonesia yang menyimpan ratusan
naskah kuna tutup. Penyebabnya, hanya karena pihak pengelola museum tidak mampu
membayar gaji karyawan sejak bulan Januari 2016.
Akibat penutupan museum tersebut, banyak
wisatawan dari luar Kota Solo kecelek
saat mengunjungi museum Radya Pustaka. Mereka merasa kecewa lantaran hanya
menjumpai pintu pagar museum Radya Pustaka yang masih di gembok.
Kemudian yang menjadi pertanyaan, mengapa
museum Radya Pustaka sampai tak mampu membayar karyawannya?. Menurut saya
jawabannya hanya satu, yaitu masyarakat di Kota Solo belum memiliki budaya
literasi.
Bila masyarakat Kota Solo memiliki
budaya literasi yang tinggi, pastilah mereka akan berbondong-bondong mengunjungi museum Radya
Pustaka untuk membaca literasi yang ada atau hanya sekadar nongkrong membahas
dunia literasi di sana. Jikalau masyarakat Kota Solo telah berbondong-bondong
mengunjungi museum Radya Pustaka, maka pihak penggelola tak perlu khawatir
membayar gaji pegawai. Pastilah mereka akan mendapat pemasukan yang cukup dari
penjualan tiket masuk ke museum.
Bila kita melihat kembali catatan sejarah,
museum Radya Pustaka ini dibangun pada masa pemerintahan Pakubuwono IX. Ide
pembangunannya sendiri dicetuskan oleh Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV
di dalem Kepatihan pada tanggal 28 Oktober 1890. Saat ini, museum Radya Pustaka
memiliki koleksi yang terdiri dari berbagai macam arca, pusaka adat, wayang
kulit dan naskah kuna.
Ironis memang bila tragedi literasi
semacam ini terjadi di Kota Solo.
Padahal, pada tahun 2015 pemerintah Kota Solo sempat menerima penghargaan dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai pemerintah daerah
terbaik dalam pelestarian cagar budaya.
Lalu buat apa penghargaan yang diperoleh
Pemkot Solo bila ia tak mampu membuat masyarakat tergerak untuk memiliki budaya
literasi. Padahal, penghargaan tersebut diberikan karena Pemkot Solo telah
memiliki satuan kerja pelestari cagar budaya, memiliki regulasi pelestarian
cagar budaya, memiliki program anggaran pelestarian cagar budaya, memiliki tim
pendaftaran cagar budaya, memiliki kebijakan sumber daya manusia di bidang
pelestarian cagar budaya, dan memiliki data inventaris cagar budaya.
Kejadian ini semakin memperkuat pendapat
penulis bahwa masyarakat Kota Solo secara khusus memang belum memiliki budaya
berliterasi. Apalagi beberapa hari sebelum kabar museum Radya Pustaka tutup menyeruak
ke permukaan, telah tersiar kabar buruk dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang
tragedi literasi di Indonesia.
Menteri Anis Baswedan menyampaikan,
berdasarkan pemeringkatan literasi internasional, Most Literate Nations in the
World, yang diterbitkan Central Connecticut State University pada Maret lalu
menyatakan, Indonesia mendapat peringat ke-60 dari 61 negara atau peringkat dua
dari bawah. Berdasarkan hasil pemeringkatan tersebut, Indonesia hanya mampu
lebih baik dari sebuah negara kecil di Afrika, Botswana (Jawa Pos, 13 April 2016).
Berdasarkan dua peristiwa di atas, saya
menyimpulkan bahwa budaya literasi belum menjadi suatu hal yang membudaya di kalangan
masyarakat Indonesia secara umum. Literasi sendiri pada hakikatnya adalah
kemampuan dasar seorang manusia untuk membaca, memahami, dan kemudian
menuliskan kembali teks-teks yang telah ia baca. Aktivitas literasi sangat
berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam menghadapi perubahan lingkungan
sosial yang terjadi di kehidupannya. Sehingga, literasi akan membentuk pribadi
manusia yang peka terhadap perubahan sosial.
Sebagai orang awam, kita mampu melihat secara
dekat bahwa minat membaca dan menulis bagi masyarakat Indonesia secara umum saat
ini masih rendah. Terutama pada diri anak-anak yang masih mengenyam pendidikan.
Mereka lebih senang berbelanja kebutuhan sekunder di tempat perbelanjaan mewah
daripada belanja buku-buku di toko buku.
Selain itu, anak muda zaman sekarang
juga lebih mengandrungi menonton film di bioskop yang menyuguhkan film-film
menarik ketimbang menggunjungi museum atau perpustakaan yang di rasa
menjemukan. Belum lagi banyaknya hiburan di televisi yang menjadikan anak-anak
lebih giat menonton acara tv ketimbang membaca buku.
Bagaimana para anak muda mau
berlama-lama di perpustakaan, bila saat ini masih banyak perpustakaan sekolah
maupun perpustakaan daerah buku bacaannya masih kurang lengkap. Bahkan, yang
lebih tidak menggenakkan lagi adalah kurang tersedianya buku bacaan yang
menarik dan berkualitas.
Sungguh ironi bila pemangku kebijakan di
negeri ini tidak segera mengambil tindakan untuk mengiatkan budaya berliterasi
bagi masyarakat Indonesia secara umum. Pemerintah jangan hanya mampu mengadakan
proyek pembangunan gedung perpustakaan yang mewah namun sepi pengunjung.
Sebagai contoh, gedung perpustakaan baru
yang dimiliki oleh Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Walaupun memiliki
gedung perpustakaan mewah, berlantai delapan dan ber-AC, namun pihak pengelola
perpustakaan ini tak begitu cerdas untuk menciptakan budaya literasi di
kalangan civitas akademika kampus.
Saat mengadakan deklarasi literasi
misalnya. Pihak pengelola perpustakaan UNS bukannya mengadakan kegiatan yang
berbau literasi, mereka malah mengadakan kegiatan bagi-bagi makanan gratis.
Coba kita berpikir lebih sehat apa hubungannya bagi-bagi makanan gratis dengan
budaya literasi?
Belum lagi jam buka perpustakaan yang
masih terbilang minim. Perpustakaan UNS hanya mampu buka pada hari Senin sampai
Jumat mulai dari pukul 07.30 wib hingga pukul 15.00 wib. Jam buka perpustakaan
UNS masih kalah dengan jam buka perpustakaan daerah (perpusda) yang dimiliki
oleh pemerintah Kabupaten Sragen. Perpusda kabupaten Sragen mampu buka setiap
hari, kecuali tanggal merah, mulai dari pukul 08.00 wib hingga pukul 21.00 wib.
Padahal perpusda Kabupaten Sragen tak memiliki gedung perpustakaan yang mewah
seperti perpustakaan UNS.
Jangan sampai hanya karena rasa gengsi
ingin disebut sebagai negara besar yang memiliki perpustakaan terbesar dan
terlengkap. Malah membuat anak cucu bangsa Indonesia menjadi manusia-manusia
tak berliterasi. Mereka lupa akan budayanya sendiri karena tak pernah diajari
untuk berliterasi.
Pemangku kebijakan di negeri ini harus
segera mengiatkan budaya berliterasi dengan mengadakan buku-buku yang
berkualitas. Menambah buku bacaan di perpustakaan yang telah ada agar
masyarakat Indonesia betah berlama-lama untuk membaca dan menulis di
perpustakaan. Bukan malah membuat budaya membangun gedung perpustakaan mewah.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
besar. Bangsa yang memiliki keanekaragaman seni budaya. Kekayaan intelektual
ini akan hilang bila tak ada literasi yang mengikatnya. Maka, marilah kita
menjadikan berliterasi sebagai budaya yang akan kita wariskan kepada anak cucu
bangsa Indonesia. Salam budaya literasi.
*Mahasiswa program studi Sastra
Indonesia Universitas Sebelas Maret. Bergiat di Komunitas menulis
Muslimdaily.net, FLP Solo Raya, dan Komunitas Soto Babat
Komentar
Posting Komentar