Bersemangatlah Pejuang Bahasa Indonesia! Karena Kami Menunggu Aksi Nyatamu!
Seiring dengan berkembangnya
kemajuan teknologi dan perubahan generasi, semangat menjunjung bahasa Indonesia
terasa luntur. Bayangkan, banyak siswa SMA yang gagal dalam mata
pelajaran Bahasa Indonesia saat ujian nasional tahun 2011 lalu. Di tingkat
Perguruan Tinggi, peminat Fakultas Sastra Bahasa Indonesia sering kali lebih
rendah dari Fakultas atau jurusan lainnya.
Orang-orang Indonesia pada umumnya
masih beranggapan bahwa kalau kuliah di fakultas sastra hanya akan mempelajari
dan mendalami tentang dunia syair, karang-mengarang, dan tulis-menulis seperti
: puisi, cerpen, dan novel. Namun kenyataannya tidaklah seperti itu. Itu
hanyalah anggapan orang-orang awam yang tak peduli dengan jati diri bangsa
serta perkembangan bahasa Indonesia.
Namun sangat disayangkan ketika ada
orang yang kuliah di jurusan Sastra Indonesia malah merasa minder dan tidak
percaya diri. Berikut penulis sajikan sebuah percakapan antara seorang dokter
dengan seorang mahasiswa jurusan Sastra Indonesia sebagai ilustrasi bahwa para
mahasiswa ini tidak percaya diri ketika kuliah di jurusan Sastra Indonesia.
Dr. Ganjar :
"Kuliah di mana?"
Doni :
"UNS" (dengan membusungkan dada, bangga)
Dr. Ganjar :
"Fakultas apa?"
Doni :
"Hehe sastra" (agak lirih)
Dr. Ganjar :
"Oww... sastra Inggris?"
Doni :
"Hehehehe...enggak kok, cuma sastra Indonesia." (lirih, ditambah
garuk-garuk kepala yang tidak gatal)
Hal ini sungguh mengkhawatirkan!.
Mahasiswa sastra Indonesia tidak PD menjadi mahasiswa sastra Indonesia. Saya
tidak habis pikir, kenapa mereka malu? seharusnya bangga dong! Kuliah bukan
urusan yang mudah. Lihat anak-anak jalanan! Pernahkah tebersit di pikiran kita
bahwa mereka juga ingin sekali merasakan bangku perkuliahan. Namun keadaanlah
yang memaksa mereka untuk tetap tinggal di jalanan. Kuliah merupakan nikmat
tersendiri yang harus disyukuri. Bagaimanapun juga ketika kita bisa kuliah di
sastra Indonesia juga melalui seleksi yang ketat. Tidak sembarang orang bisa
diterima dan kita telah diberi kesempatan bisa kuliah di sastra Indonesia
seharusnya bersyukur dan bangga bisa menjadi seorang pendekar bahasa Indonesia
yang akan mengawal Bahasa Indonesia hingga akhir zaman.
Bahasa Indonesia, Lambang Nasionalisme
Menilik sejarah bangsa, Bahasa
Indonesia bukanlah bahasa yang turun dari langit!. Ia lahir dari
gagasan-gagasan dan semangat para pemuda Indonesia, jauh sebelum terdengarnya
proklamasi kemerdekaan.
Pada 16 Juni 1927, terjadi kegaduhan
dalam sidang Volksraad (Dewan Rakyat). Untuk pertama kalinya dalam
sidang itu menggunakan bahasa Melayu. “Saat itu tidak lazim anggota Voolksraad
yang berasal dari kalangan bumi putra menyampaikan pidatonya dengan bahasa
Melayu (Indonesia)”, begitu situasi yang digambarkan oleh Azizah Etek dalam
buku “Kelah Sang Demang Jahja Datoek Kajo” (2008).
Ialah Jahja Datoek Kajo, seorang
anggota Volksraad asal Minangkabau yang menggunakan bahasa Melayu dalam
pidato pertamanya. Ia memang bukan orang pertama yang menggunakan bahasa
Indonesia, melainkan Haji Agus Salim juga menggunakan bahasa Melayu di
pidatonya dalam satu sesi. Kemudian, Salim diperingatkan oleh tuan Voorzitter
dan menjawab, “menurut peraturan Dewan, saya punya hak untuk mengeluarkan
pendapat dalam bahasa Indonesia” (Azizah, 2008 : 31).
Pada suatu sidang, tanggal 30 Juni
1928, seorang wakil pemerintah Belanda menjawab dengan Bahasa Belanda dan
menyertai dengan embel-embel jika tidak mengerti harap bertanya kepada Mochtar
(anggotanya). Bukan berarti Jahja tidak bisa berbahasa Belanda, namun ia
menolak menggunakannya, karena ingin menunjukkan nasionalismenya. “Pembicaraan
saya di dalam sidang Majelis Dewan Rakyat. Saya lebih suka di dalam Bahasa
Indonesia, karena saya sendiri seorang Indonesioner”
(Azizah, 2008:32).
Kebanggaannya sebagai orang
Indonesia, ia wujudkan dengan menggunakan bahasa Indonesia di kala
diskriminatif terhadap orang pribumi masih begitu tinggi. Koran-koran pribumi
pun menjulukinya, “Jago Bahasa Indonesia di Volksraad.”
Seandainya Jahja masih hidup, mungkin ia akan menyentil generasi penerusnya
yang lebih suka menggunakan bahasa asing.
Setahun kemudian, tepat pada Kongres
Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928, kumpulan pemuda dari berbagai himpunan
pemuda berkumpul di Gedung Indonesische Clubgebouw. Pada hari itu,
mereka merumuskan gagasan-gagasan penting, yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
Salah satu tokoh pemuda yang bernama Muhammad Yamin, menetapkan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa Persatuan. “Kami poetra poetri Indonesia
mendjundjung bahasa persatoean, bahasa Indonesia.”
Semangat para pemuda sangat
berapi-api dalam menggunakan bahasa Indonesia, meski pemerintah kolonial
menganggap hal itu biasa saja. Bahkan, Van Der Plaas, seorang pejabat kolonial
meremehkan gagasan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, mengingat pada
saat sidang para anggota sering kali menggunakan bahasa Belanda atau daerah.
Namun, sang pemimpin sidang kongres
Pemuda II, Soegondo berusaha menggunakan bahasa Indonesia dalam sidangnya meski
tampak kesulitan. Begitu pula Siti Soendari, salah satu pembicara dalam Kongres
Pemuda II. Dua bulan setelah Kongres Pemuda II, ia mulai menggunakan bahasa
Indonesia.
Meski Indonesia belum merdeka, para
pemuda menyadari akan pentingnya menyatukan bangsa, manakala terbagi oleh
beragam suku dan budaya. Dengan menyatakan dan menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan, mereka berani menunjukkan identitas dan rasa cinta
terhadap bangsa. Sebaliknya, berbeda dengan pemuda sekarang, lebih bangga dan
merasa hebat berbahasa asing.
Namun, dengan kemajuan teknologi di
era globalisasi. kita pun semakin tergantung dengan perangkat teknologi yang
canggih, sehingga secara tidak langsung membiasakan diri kita untuk menggunakan
istilah asing daripada bahasa Indonesia. Pengembangan mutu bahasa Indonesia
juga harus berjalan seiring dengan kemajuan teknologi, sehingga bahasa
Indonesia tetap bisa eksis meski teknologi sudah semakin canggih. Mutu bahasa
pada media harus digalakkan. Media massa memiliki peran yang sangat penting dan
efektif sebagai alat penyebarluasan bahasa. Pelatihan penulisan dan pengucapan
bahasa yang baik dan benar kepada para jurnalis, mengecek penggunaan bahasa
oleh badan bahasa, membuat kolom bahasa dan sastra, serta penulisan berita
dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar merupakan beberapa cara bagi media
untuk mendukung pengembangan mutu bahasa Indonesia.
Sebenarnya masih banyak cara-cara yang dapat
dilakukan untuk menjaga keberlangsungan bahasa Indonesia dan mewujudkan
proyeksi bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Akan tetapi, hal ini
kembali pada kesadaran diri sendiri untuk mencintai bahasa nasionalnya. Mungkin
dengan tulisan ini penulis hanya bisa bertanya kepada pembaca sekalian. Namun
pertanyaan saya ini tak perlu untuk dijawab dengan kata-kata tapi harus dijawab
dengan perbuatan nyata. Bersediakah Anda menggunakan bahasa Indonesia dalam
kehidupan sehari-hari?[Abdul Wahid]
Komentar
Posting Komentar