Analisis cerpen Basa-basi Karya Jujur Prananto dengan Teori Sastra Profetik


Pendahuluan
Pada hakikatnya sastra adalah karya seni dalam bentuk bahasa. Sastra berisi tentang ungkapan ekspresi, kegelisahan, pemikiran, perenungan yang dihasilkan dari refleksi manusia terhadap keadaan dan realita kehidupan. Selain itu, sastra adalah bahasa kebebasan. Yakni bahasa yang mengandung nilai estetika (keindahan). Karya sastra sebagai karya seni adalah bagian dari unsur-unsur kebudayaan yang bersumber pada rasa, terutama rasa keindahan yang ada pada diri manusia. Karena sastra adalah media bagi penulis untuk menyampaikan pesan kritis kepada pembaca dengan bahasa yang estetik (indah). Sastra Profetik muncul karena manusia kembali pada dirinya dan Tuhannya. Sastra Profetik harus memiliki relevansi keagamaan (sastra sufi) dengan hal-hal yang bersifat keduniaan.

Sejatinya sebuah karya sastra tidak bisa dilepaskan dari realita kehidupan penulis, lingkungan, dan kebudayaan masyarakatnya. Demikian pula yang terdapat dalam cerita pendek yang berjudul “Basa-Basi” karya Jujur Prananto. Di cerita pendek ini terdapat pesan kritis kepada pembaca dengan bahasa yang indah (estetik). Maka saya mencoba menganalisis cerita pendek yang berjudul “Basa-Basi” ini dengan teori sastra Profetik.
 Teori
Pengertian sastra Profetik secara umum adalah profan transendental yang berarti bahwa dimensi sosial dengan menyangkut hal-hal yang ghaib (rohaniah) dan dapat menjernihkan orang lain. Munculnya gagasan sastra profetik tidak bisa kita pisahkan dari penggagasnya. Kuntowijoyo, dialah seorang intelektual yang berperan dalam sastra profetik. Muhammad Iqbal adalah salah satu tokoh filsuf Islam yang memengaruhi pemikiran Kuntowijoyo dalam menggagas sastra profetik. Menurut Kuntowijoyo, pengertian kata profetik berasal dari kata prophet atau nabi. Istilah profetik ini kemudian diartikan dengan peran kenabian. Pada paradigma profetik setiap manusia memiliki tugas dan peran kenabian dalam menyelaraskan kehidupan manusia. Selain memiliki hubungan dengan Tuhan (Habluminallah) manusia juga memiliki hubungan dengan manusia (Hambluminannas). Dengan demikian, sastra Profetik harus memiliki relevansi keagamaan (sastra sufi) dengan hal-hal yang bersifat keduniaan. Sastra Profetik muncul karena manusia ingin kembali pada dirinya sendiri dan Tuhannya. Hal ini dikarenakan, kekusutan filsafat modern (keduniawian).
Sastra profetik yang digagas Kuntowijoyo merupakan manifetasi dari surat Q.S Ali-Imran ayat 110 yang artinya: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. Inilah yang disebut oleh Kuntowijoyo dengan peran profetik. Di mana manusia memiliki peran kenabian, yaitu humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minubillah). Hal inilah yang menjadi gagasan Kuntowijoyo untuk membumikan ajaran Allah dalam ranah kesusatraan. Ia berpendapat bahwa dalam konsep Islam yang kaffah umat Islam dituntut untuk menjadikan Islam sebagai landasan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Selain ibadah yang rukun (sahadat, shalat, zakat, puasa dan haji), maka dalam menciptakan karya sastra pun haruslah diniatkan sebagai ibadah (Kuntowijoyo, 2013:14).
Sastra profetik memiliki kaidah-kaidah yang mengacu dalam mengekspresikan dan menuliskan pesan dalam karya. Yang pertama, epistemologi strukturalisme transendental. Yaitu rujukan dari sebuah karya sastra yang bersumber pada kitab suci atau wahyu (firman Tuhan atau sabda Nabi) yang kemudian ditarik kedalam sebuah realita yang terjadi (dari teks ke konteks). Yang kedua, sastra sebagai ibadah. Yakni ibadah selama ini hanya dimaknai sebagai hubungan manusia dengan Tuhan (transendental), padahal paradigma tersebut kurang tepat karena pada hakikatnya manusia beribadah dengan humanisasi, liberasi, dan transendensi. Maka dalam konteks kesusastraan pun harus diniatkan sebagai ibadah yang bertujuan untuk ketiga aspek tersebut. Entah itu sebagai kritik sosial, budaya, politik maupun menjadi nasihat-nasihat atau pesan-pesan Tuhan. Yang ketiga, keterkaitan antarkesadaran. Pada kehidupan beragama tentu manusia memiliki kesadaran ketuhanan. Artinya kesadaran bahwa adanya Sang Pencipta yang Maha Agung. Selain kesadaran ketuhanan, umat beragama juga harus memiliki kesadaran kemanusiaan. Artinya kehidupan kita ini tidak lepas dari peran kita sebagai makhluk sosial. Kedua kesadaran ini memiliki keterkaitan antara satu sama lain, artinya ketika manusia memiliki kesadaran ketuhanan yang tercerminkan dari ibadahnya maka manusia tersebut memiliki tanggung jawab moral dan sosial kepada masyarakat.

Analisis
Secara umum cerita pendek “Basa-Basi” berkisah tentang kejengkelan tokoh utama yang bernama Jumardi terhadap perkataan yang hanya basa-basi belaka. Perkataan yang menurutnya hanya untuk memberikan perasaan senang kepada orang yang dihormatinya melalui perkataan. Padahal di dalam hatinya menggerutu dan mengunmpat perkataan basa bai yang telah diucapkannya tersebut ternyata keliru.
            Diawal cerita pendeknya Jujur Prananto menjelaskan mengenai makna basa-basi dalam kamus bahasa Indonesia. Menurut saya, penulis di sini memiliki tanggung jawab moral dan sosial kepada masyarakat. Dengan kata lain, karya sastra yang dituliskannya ini mngandung pelajaran bahwa ia terlebih dahulu mengajari pembaca karyanya untuk memahami kata basa basi dengan memaknainya sampai pada hakikat yang sebenarnya.
“Mestinya betul yang disebutkan dalam kamus bahasa Indonesia, bahwa basa-basi mengandung pengertian adat sopan-santun atau pun tata-krama pergaulan, yang pastinya memiliki konotasi maupun denotasi yang serba positif. Bukankah kata-kata sopan, santun, pergaulan yang tertata, memang sulit mengarahkan pikiran kita pada sesuatu yang negatif? Mestinya memang begitu.”
            Jujur Prananto mengungkapkan kejengkelannya tentang basa basi melalui tokoh yang bernama Jumardi. Tokoh ini sangat tidak menyukai dengan adanya basa-basi yang menurutnya hanya sebagai kata-kata yang menceritakan sesuatu serba buruk. Kejengkelannya tentang kata basa-basi ini terjadi karena bosnya yang menjadi direktur utama BUMN, Bu Siska selalu mengingkan mengungkapkan sesuatu dengan basa-basi.
“Bu Siska, atasan Jumardi, direktur utama BUMN tempat Jumardi berkarier, memang gemar menyelenggarakan acara kumpul-kumpul di rumahnya yang megah di bilangan Jakarta Selatan.Sekali dalam sebulan sudah pasti ada arisan bagi para pejabat eselon dua dan satu. Di samping itu banyak pertemuan tidak rutin seperti pesta ulang-tahun enam putra-putri dan empat cucu bu Siska, seperti yang diselenggarakan malam ini.”
            Tokoh Jumardi tidak ingin melakukan kebohongan hanya karena menyenangkan perasaan orang lain dengan perkataan yang bohong. Dengan perkataan Jumardi ini, saya melihat atau mendapati unsur profetik mulai muncul dari cerita pendek Basa-basi karya Jujur Prananto. Pada kasus ini pengarang mengungkapkan, dalam kehidupan beragama tentu manusia memiliki kesadaran dengan adanya Tuhan. Tokoh Jumardi tidak ingin melakukan basa-basi yang berujung pada kebohongan karena ia menyadari adanya Tuhan yang tidak pernah menyuruh umatnya untuk melakukan kebohongan walau hanya basa-basi. Berikut kutipan yang menurut saya menjurus ke arah tersebut.
“”Jadi demi kepantasan kita harus berbohong? Membohongi bu Siska, membohongi anaknya, cucunya, membohongi diri kita sendiri….”
”Jangan berpikir sejauh itulah.”
“Kamu cuma sebulan sekali ketemu dia. Aku tiap hari kerja! Hampir tiap hari aku mendengar orang-orang berbasa-basi di hadapan bu Siska.”
”Kenapa di kantor masih harus berbasa-basi juga?”
”Kamu tahu apa yang terjadi setiap meeting sama bu Siska? Minimal dua puluh menit pertama akan habis sia-sia buat menyimak dia bercerita segala rupa tentang dirinya.Tentang tasnya yang dia beli di Paris, tentang pizza paling enak yang pernah dia makan di Milan, tentang wajahnya yang baru dirawat di Singapore….. Dan para pendengarnya terpaksa mengangguk-angguk seolah penuh rasa kagum, padahal dalam hati pada menjerit: emang gue pikirin!””
            Karena tokoh Jumardi merasa muak untuk melakukan basa-basi yang berujung pada kebohongan. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak datang di acara pesta ulang tahun anaknya. Hal ini malah menyebabkan Jumardi dipanggil oleh sekretaris Dirut BUMN untuk menghadap Bu Siska di kantornya. Ia cecar pertanyaan mengapa semalam tidak hadir pada acara ulang tahun anaknya. Kemudian Jumardi ditanya, apakah dia tidak menyukai perkataan basa-basi. Oleh Jumardi di jawab dengan jujur bahwa dia tidak menyukai perkataan basa-basi. Apalagi menjurus ke arah kebohongan. Oleh Bu Siska akhirnya diangkat sebagai direktur pengawasan karena dia tidak suka berbuat basa-basi. Karena loyalitas dan dalam bahsa agama disebut dengan ketaatan, akhirnya ia menerima permintaan Bu Siswka untuk menjadi direktur pengawasan.
”Eeee…. atas nama loyalitas pada perusahaan, saya akan menerima penugasan apa pun yang diberikan ke saya.”
”Itu jawaban basa-basi. Tolong dik Jumardi jawab yang jujur!”
”Saya bersedia, bu.”
SEBAGAI direktur pengawasan, Jumardi harus makin sering bertemu dengan bu Siska. Bertemu dalam rapat-rapat direksi maupun pertemuan empat mata di ruang kerjanya. Celakanya, dengan begitu ia harus makin sering menyimak ocehan bu Siska tentang segala hal yang bersifat pribadi. Dan otomatis ia harus makin sering pula berbasa-basi.”
            Setelah ditunjuk sebagai direktur pengawasan tidak menjadikan diri Jumardi bahagia. Dengan jabatannya barunya ini malah menyiksanya lahir batin. Karena intensitas bertemu dengan Bu Siska lebih sering ketimbang saat dia belum menjabat direktur pengawasan. Ia merasa bersalah karena sering melakukan basa-basi yang berujung pada kebohongan. Hal ini saya dapat pahami bahwa tokoh memiliki jiwa ketuhanan yang tidak pernah berbuat kebohongan.
”Apanya yang sederhana? Kamu harus tahu apa yang terjadi kalau aku sendirian menghadap bu Siska di ruang kerjanya. Pernah terjadi dia tiba-tiba masuk ke toilet dan kemudian keluar mengenakan baju baru model kimono yang konon dia beli di Tokyo. Tolong kamu bayangkan: bu Siska dengan berat badan hampir seratus kilo mengenakan pakaian yang biasa dipakai gadis-gadis Jepang yang super-langsing, dengan nada sangat serius bertanya, ’Bagus kan, saya pakai baju ini?’ Hampir saja aku jawab, ’Nggak, bu. Bajunya memang bagus banget, tapi sama-sekali nggak cocok buat ibu!’ Untung aku ingat anak-anak kita masih kecil, masih perlu banyak biaya buat menyelesaikan pendidikan sampai perguruan tinggi. Jadi dengan sangat terpaksa aku jawab ’Bagus, bu’.
Dengan gaji yang meningkat dua kali lipat, tidak membuat hidup Jumardi menjadi lebih sejahtera. Yang terjadi malah membuat badannya semakin kurus dan setres. Dia merasa tersiksa dengan ulah rekan-rekannya yang selalu berbasa-basi kepada Bu Siska. Puncaknya ketika Bu Siska masuk rumah sakit. Semua rekan-rekannya mengungkapan basa-basinya agar Bu Siska segera sembuh. Namun, para karyawan Bu Siska ini malah pergi bareng ke suatu kafe untuk makan-makan mumpung Bu Siska sedang sakit. Bagi Jumardi, hal ini kebohongan yang membuatnya jengkel. Dia akhirnya membanting smartphone miliknya dan keluar dari grup whatsapp yang di buat oleh Bu Siska.
“”Bukan cuma bagus, tapi harus.Masalahnya, apakah yang mereka ucapkan itu benar-benar mereka jalani?Apa pernah kegiatan berdoa untuk kesembuhan bu Siska itu benar-benar mereka lakukan, entah itu di rumah, di masjid, di gereja,di wihara atau di mana pun mereka berada? Atau mereka sekadar mengetikkan kata-kata di keyboard smartphone dan memencet tombol send untuk menyenang-nyenangkan bu Siska? Aku yakin yang mereka lakukan basa-basi belaka!!!”
”Jangan suka curiga….”
”Mereka sendiri yang bicara.”
Rupanya, teman-teman sekantor Jumardi—yang sebelumnya berlomba-lomba mengirimkan ucapan doa,baru saja pada mengajaknya hangout ke kafe tertentu ”mumpung bu Siska tidak ada” dan pada berharap”mudah-mudahan dokter menyarankan bu Siska untuk beristirahat lama agar kita bisa beristirahatpula mendengarkan ocehan-ocehannya”.”
Setelah sembuh dari sakitnya, Bu Siska menemui Jumardi dan menanyakan perihal menggapa dia keluar dari grup whatsapp yang telah dibuatnya. Oleh Jumardi dijawab dengan terus terang bahwa dia merasa muak dengan semua basa-basi yang ada di grup tersebut. Sebulan kemudian Jumardi mendapat tugas khusus untuk merintis pendirian kantor cabang baru di Kabupaten Boven Digul, Papua. Jumardi menolak tugas itu dan mengajukan permohonan pengunduran diri. Bu Siska memaklumi dan dengan berat hati melepas kepergian Jumardi.
”Anda orang hebat. Tapi sepertinya kurang cocok untuk bekerja di Indonesia.”
Puncak dari kemuakannya, akhirnya Jumardi meninggalkan perusahaan yang dipimpin oleh Bu Siska tersebut. Berbekal surat referensi yang diberikan perusahaan, Jumardi diterima bekerja di sebuah oil company di Kanada. Kariernya melesat pesat dan dihargai sejajar dengan tenaga ahli lokal, dan bahkan kemudian menempati jabatan tertentu yang sangat strategis. Sekian tahun kemudian ia ditugaskan sebagai wakil perusahaan untuk merintis kemungkinan pengembangan investasi di Indonesia. Dia disuruh mengahadap seorang menteri yang ternyata adalah Bu Siska. Sesampainya di Indonesia, Bu Siska menerima kedatangan Jumardi di ruang kerjanya, menyambutnya dengan senyum lebar dan jabatan tangan yang sangat erat.
”Dik Jumardi hebat sekali. Sebagai mantan atasan Anda saya merasa sangat berbangga.”
”Terima kasih, bu.”
Diakhir cerita, pengarang ingin mengungkapan kepada pembacanya bahwa perkataan basa-basi masih tetap melekat dalam diri orang Indonesia walau dia sudah menjadi menteri. Ketika Jumardi sudah menghadap Bu Siska di kantornya, ia melihat hiasan dinding berupa lukisan. Ada salah satu lukisan yang menurutnya diletakkan pada tempat yang spesial. Namun lukisan itu menurutnya jelek. Akan tetapi, setelah dijelaskan bahwa lukisan itu adalah karya anaknya Bu Siska, akhirnya dia harus berbasa-basi yang berujung pada kebohongan.   
”Siapa, bu?”
”Rayhan, anak saya. Setelah lulus Seni rupa ITB dia ambil S2 di Perancis. Saya sendiri tidak menyangka dia punya bakat seni yang luar biasa. Lukisannya bagus sekali dik, ya.”
Jumardi menelan ludah. Tak kunjung menimpali ucapan bu Siska.

Daftar Pustaka:
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sumber internet:
https://id.facebook.com/permalink.php?story_fbid=713949522047301&id=360719200703670&substory_index=0 (tulisan cerpen basa-basi) diakses pada 28 Mei 2015 pukul 19.00WIB.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaidah Penulisan Arab Melayu

Ringkasan novel Edensor

Biografi, Karya, dan Pemikiran Abdul Rauf Al-Singkili