Secangkir Kopi Persahabatan
Karya: Abdul Wahid
Mobil Kijang berwarna hitam melaju kencang dari arah utara. Suara berderit akibat gesekan ban dengan aspal terdengar bagaikan teriakan menyambut malaikat pencabut nyawa. Mobil Kijang menyambar sebuah sepeda motor yang tengah berusaha menyeberang di tengah jalan. Aroma bensin menyeruak disekitar lokasi. Darah berceceran di tengah jalan. Seorang lelaki pengendara sepeda motor terpental sejauh 20 meter dari lokasi tabrakan. Orang-orang yang sedang berada di pinggir jalan langsung berkerumun. Mereka bergegas datang namun tak berani menolong. Mereka hanya termenung melihat seorang pengendara motor yang berlumuran darah sedang menjerit kesakitan di tengah jalan.
Mobil Kijang berwarna hitam melaju kencang dari arah utara. Suara berderit akibat gesekan ban dengan aspal terdengar bagaikan teriakan menyambut malaikat pencabut nyawa. Mobil Kijang menyambar sebuah sepeda motor yang tengah berusaha menyeberang di tengah jalan. Aroma bensin menyeruak disekitar lokasi. Darah berceceran di tengah jalan. Seorang lelaki pengendara sepeda motor terpental sejauh 20 meter dari lokasi tabrakan. Orang-orang yang sedang berada di pinggir jalan langsung berkerumun. Mereka bergegas datang namun tak berani menolong. Mereka hanya termenung melihat seorang pengendara motor yang berlumuran darah sedang menjerit kesakitan di tengah jalan.
“Aarg, tolong-tolong!”
“Aa.. ayo pak, kita
too.. tolong masnya itu,” kata seorang pejalan kaki dengan gugup.
*****
Malam ini aku bersama
Kelik janjian bertemu di Kafe Ngopi ABC dekat kampus UNS Solo untuk menikmati
sajian Kopi Tubruk khas Aceh. Sebuah kopi yang mampu menopang kelopak mata dengan
rasanya terkenal pedas dan pahit. Walau rasanya pahit, Kopi ini sungguh nikmat
untuk menemani obrolan ringan sepanjang malam. Aku datang duluan di Kafe Ngopi
ABC.
Baru sampai di
parkiran, aroma khas kopi nusantara telah menyembul dari dalam kafe. Sebuah
musik cadas yang dibawakan oleh Iwan Fals menyambut kedatanganku. Memang, kafe
ini selalu dikunjungi oleh maniak kopi sejak zaman dulu karena sudah dikenal
dengan berbagai macam jenis kopi dari seluruh pelosok Nusantara.
“Mas Barista, aku pesan
dua cangkir Kopi Tubruk khas Aceh ya,”
“Siap mas bro,” jawab
sang barista sambil menubruk biji kopi.
Lima menit berselang,
Kelik datang. Ia datang dengan mengendarai sepeda motor lawas buatan tahun 70-an.
Ia langsung menghampiriku yang sedang duduk bersama sebatang lilin dipojokkan
Kafe.
Pelan-pelan seorang pramusaji
wanita rekan si barista menuangkan kopi ke dalam cangkir. Sebuah nampan berisi
dua cangkir Kopi khas Aceh pesanakanku datang diantarnya dengan hati-hati. Kuperhatikan
pelayan itu sangat berhati-hati saat menaruh cangkir kopi kami.
“Matur nuwun mbak,”
kataku. Sebuah senyuman tulus kupersembahkan kepada pelayan wanita ini sebelum
ia meninggalkan seutas senyum. Lalu ia pergi dengan wajah merah merona.
Aku dan Kelik memulai
obrolan dengan bercerita kisah masa lalu kami ketika tinggal di pondok
pesantren yang terletak di tepi Bengawan Solo. Aku mencoba meraba-raba ingatanku
tentang masa lalu. Kuingat terakhir kami bertemu adalah saat merayakan
kelulusan. Itupun sudah 20 tahun yang lalu. Karena keterbatasan uang, Kelik
yang merupakan anak dari buruh tani yang tidak memiliki sawah maupun ladang
hanya mampu menempuh sekolah sampai jenjang SMA.
“Dulu kita pernah
melompat pagar asrama ya Lik.”
“Iya, malam-malam kita
keluar asrama buat main PS.”
“Keesokan harinya kita
kita ketahuan pembina,”
“Di hukum push up 100x sama Pak Ghazal, haha!”
Kata Kelik yang aku ikuti dengan gelak tawa riang gembira.
Kelik lalu menceritakan
kisah cintanya dengan seorang gadis berjilbab keturunan Jawa yang akhirnya
berlabuh dipelaminan. Ia mengawali rumah tangganya dengan modal nekat alias tak
punya pekerjaan. Bersusah-susah Kelik mencari pekerjaan. Tak satupun perusahaan
yang mau menerimanya sebagai karyawan. Berkat kesabaran dan ketabahan hati sang
istri, akhirnya mereka berdua merintis usaha pabrik roti kecil-kecilan.
“Pernikahan itu
nikmatnya hanya beberapa hari di awal pernikahan. Selanjutnya adalah hari-hari
yang melelahkan. Namun aku harus menjalaninya penuh tanggung jawab,”
“Masak sih Bro.
Bukannya nikah itu isinya senang-senang ya?”
“Enggak cuma
senang-senang saja Bro. Aku hampir putus asa saat tak punya pekerjaan.
Bayangkan, aku melamar pekerjaan di mana-mana selalu di tolak. Namun,
Alhamdulillah, istriku sungguh bijak. Ia tak pernah mengeluh dengan keadaanku
saat itu.”
“Istrimu keren ya Bro.
Kalau istrimu itu enggak kuat agamanya, pasti dia sudah menuntut cerai sejak
dulu.”
“Iya Bro. Dia itu
adalah bidadari yang diberikan Allah SWT kepadaku,”
Kelik lalu menceritakan
perjuangan selama sepuluh tahun merintis pabrik roti. Hingga saat ini mereka
telah memiliki empat karyawan, rumah sendiri, mobil sendiri serta bisa
menyekolahkan keempat putranya di pondok tahfidz Al Qur’an.
“Janji Allah itu pasti
Bro. Jikalau kita bersungguh-sungguh pasti bisa,”
“Iya Bro,” jawab
Dua jam kami mengobrol
tentang masa lalu yang indah dan menikmati secangkir kopi khas Aceh. Aku hanya
bisa tersenyum tatkala mendengar kisah cinta sahabatku ini. Aku sebenarnya
cemburu dengan kisah cinta sahabatku ini. Karena aku, sampai menginjak usia 40
tahun belum ada seorang wanita pun yang mau menerima pinanganku.
“Aku pamit dulu ya.
Sudah malam. Istri sedang di rumah sendiri,”
“Kopinya dihabiskan
dulu Bro.”
***
Mataku tak sanggup berkedip
walau sesaat. Baru lima menit yang lalu kita bernostalgia tentang masa lalu. Kini
aku harus berlari menolongmu. Tak sanggup aku berkata. Air mataku menetes
deras. Melihatmu yang berlumuran darah.
“Sahabatku,
bertahanlah. Aku sedang mencari ambulance
untuk mengantarkanmu ke rumah sakit,” kataku dengan suara parau seraya
membopong Kelik ke pinggir jalan.
Ambulance
datang. Aku beserta perawat membopong tubuh Kelik yang berlumuran darah ke
dalam ambulance. Mobil ambulance dengan teriakan sirine melaju
kencang menuju rumah sakit. Suara sirine mengaung menggema sepanjang jalan.
“Bid.... Bila aku mati.
Tolong jaga istri dan anak-anakku,” ucap Kelik dengan terbata-bata dan batuk
darah.
“Insya Allah Lik,”
jawabnya dengan penuh keharuan.
Ambulance
tiba di rumah sakit. Petugas jaga UGD rumah sakit langsung membawa Kelik ke
ruang UGD dengan kasur dorong. Di bawah terangnya cahaya lampu rumah sakit,
tampaklah luka disekujur tubuh Kelik memancarkan darah. Aku hanya bisa menanggis,
tak sanggup melihat penderitaan Kelik saat ini.
“Semoga kau baik-baik
saja bro,” ucapku dalam hati. Seorang anak kecil membawa telpon seluler dengan
sebuah lagu cadas yang dinyanyikan oleh Iwan Fals. Bersamaan dengan itu istri
Kelik datang menghampiriku. Dia langsung bertanya tentang kondisi Kelik.
“Kata dokter, Kelik
sudah meninggal ketika diperjalanan.” Pelan-pelan kucoba untuk berkata
kepadanya. Walau sebenarnya aku tak sanggup berkata apapun. Hanya isak tangis
yang dapat kuucap.
“Tadi Kelik berpesan
kepadaku untuk menjagamu dan menjaga anak-anakmu,” lanjutku.
Mendengar ucapanku,
istrinya Kelik langsung menangis. Walau menangis, aku lihat wajahnya tetap
tegar. Ia hanya menangis tak sampai sesegukkan apalagi histeris.
“Aku ikhlas ditinggal
mati oleh suamiku dan aku menyanggupi permintaan suamiku,” katanya kepadaku
sebelum ia memasuki kamar jenazah untuk melihat jenazah suaminya.
Keesokan harinya aku
beserta masyarakat mengurusi jenazah Kelik. Perlahan aku mandikan jenazahnya,
kukafani, kusalatkan, dan aku turut menguburkan jenazah Kelik. Jenazah Kelik
dimakamkan dipekuburan Muslim. Saat ku lemparkan sebongkah tanah ke liang
kuburnya, di dalam hati aku hanya bisa memohon agar Allah SWT meridhoimu masuk ke
dalam jannah-Nya. Amin.
*****
Malam ini aku pergi ke
telaga di tengah gunung Lawu yang selalu memberi inspirasi saat segala
problematika menghampiriku. Sunyi senyap menambah dinginnya suasana malam di
pegunungan. Sejenak kutatap ikan-ikan yang berkejaran dengan riang gembira di
telaga.
Di bawah temaram sinar
rembulan aku duduk di tepi telaga sembari merasakan dinginya malam dengan
memainkan suara air telaga dari kakiku. Hati ini ingin terbang melayang bersama
dedaunan yang bertebaran disekitar telaga. Dedaunan yang tak pernah menyalahkan
angin ketika menerbangkannya.
Di tengah lamunanku
dalam sunyian ini, sebuah rabaan menghampiri pundakku. Kaget bukan main aku
dibuatnya. Ternyata rabaan ini berasal dari tangan renta wanita tua beramput
putih. Ia datang dengan terseok-seok membawakan secangkir kopi yang mengepulkan
aroma kehanggatan.
“Ini mas, secangkir
kopi panasnya,”
“Matur nuwun enggih Bu,”
jawabku malu-malu.
“Selamat menikmati,”
tukasnya.
Kunikmati secangkir
kopi seorang diri. Di tengah dingginya malam yang menusuk jauh ke relung-relung
hatiku. Malam ini aku tak bisa memejamkan mata walau hanya satu menit.
Pikiranku kembali melayang menuju kehidupanku saat tinggal di asrama bersama
kawan-kawanku tanpa memiliki beban pikiran yang berat.
Saat itu adalah
masa-masa yang sungguh mengesankan. Setiap memasuki waktu sholat selalu ada
yang mengingatkan dan sholatnya pun berjamaah. Tak hanya itu, di asrama aku
juga diajari untuk hidup disiplin. Ketika terlambat berangkat ke masjid, pasti
nama santri yang terlambat akan tercatat dalam buku keterlambatan. Kemudian, di
malam harinya akan ada pengadilan islah yang akan memberikan hukuman berupa
lari memutari asrama sebanyak 20 kali atau push
up sebanyak 20 kali.
Ya. Seperti itulah
masa-masa yang sangat menyenangkan bagiku. Apalagi bila kamu masih ada disini,
Kelik, sahabatku. Bersamaku mengingat kembali kisah lucu kita berdua sewaktu
tinggal di asrama. Kita telah berteman sejak 20 tahun yang lalu. Sungguh, itu
bukan waktu yang lama ternyata.
Kini aku merindukanmu
dalam kesunyian. Walau baru tadi siang jenazahmu kuantar ke liang lahat. Aku
tak kuasa menyembunyikan rasa sedihku ketika melihat wajahmu yang telah membiru
kaku. Sedih. Aku tak sanggup berkata sepatah kata pun tatkala keluargamu memintaku
untuk menikahi istrimu. Sesungguhnya aku bingung, bagaimana aku menjawab
pertanyaan atas wasiat yang kau ucapkan sebelum meninggal itu.
Aku bangkit dari
lamunanku. Berdiri seorang diri di pinggir telaga. Lalu kuceburkan tubuhku ke
dalam telaga yang dingin. Air beriak seakan menolak tubuhku. Aku berenang
menuju ke pulau kecil di tengah telaga.
Sekarang aku berdiri di
tengah telaga. Ditemani oleh jaket serta celanaku yang basah kuyup. Tubuhku
menggigil kedinginan. Kukepalkan tangan ke atas. Aku berteriak. Mengucap
kalimat takbir.
“Allahu akbar!,”
“Demi Tuhanku, Allah
SWT, yang telah mempertemukanku dengan Kelik dalam dekapan Al Qur’an dan
Sunnah. Aku dan Kelik tak bertemu dalam kemaksiatan. Tapi kami berdua bertemu
saat menuntut ilmu agama di asrama.”
“Aku putuskan untuk
menerima wasiat Kelik demi persabatan kami yang selalu berada di bawah kuasa-Mu.
Persahabatan yang terjalin dalam jalan yang lurus berlandaskan Al Qur’an dan
Sunnah.”
^^
Komentar
Posting Komentar