Ringkasan Singkat Babad Wedyaningratan
Babad
berjudul “Babad Wedyaningratan” berisi tentang kisah hidup seorang dokter
bernama K.R.T. Wedyaningrat. Ia merupakan seorang dokter keturunan dari
Raja Galengsong pada zaman Mataram dan juga saudara misan dari dokter
Wahidin Sudirahusada. Dokter K.R.T. Wedyaningrat lahir pada tanggal 1 Mei
1879 di kampung Lempuyangan, Yogyakarta Hadiningrat.
Pada masa mudanya ia dikenal sebagai anak yang nakal
yang gemar sekali berkelahi. Banyak sekali permainan yang disenangi oleh pemuda
yang memiliki nama kecil Bagus Rajiman ini di waktu muda. Salah satu permainan
yang sangat ia senangi ialah bermain wayang. Ketika ia hendak dimasukkan ke
sekolah, ayahnya memberinnya sebuah nasihat. Yakni bila ayahnya telah mati,
maka warisan yang paling utama bukanlah harta bendanya. Melainkan ilmu yang di
dapat dari sekolah. Dalam usahanya mencukupi kebutuhan hidup, tidak segan-segan
ia menjadi penjaga toko di Pecinan. Ia sama sekali tidak malu meskipun harus
melakukan pekerjaan yang demikian hina. Bagus Rajiman sendiri sebenarnya sudah
rela menghentikan sekolah. Akan tetapi, karena anjuran dan datangnya
pertolongan untuk melanjutkan sekolahnya, ia lalu melanjutkan sekolah sampai
tamat, dan menerima ijazah sangat bagus.
Setelah tamat sekolah rendah Belanda, timbul lagi
suatu pemikiran atau masalah. Cukup, berhenti, lalu bekerja, atau meneruskan
sekolah lagi, entah ke mana. Keputusannya, melanjutkan sekolah di sekolah
Dokter Jawa di Batavia tanpa bayar. Tinggal di asrama yang menyatu dengan
sekolah malahan mendapatkan uang saku. Di sekolah dokter ini Rajiman sangat
rajin dan bersemangat dalam belajar.
Salah satu masalah yang menjadi kebiasaan atau tata
cara dalam kehidupan ialah berumah tangga. Oleh karena itu, setelah dianggap
cukup dewasa lalu muncullah pertanyaan tentang kesediaannya untuk berumah
tangga, agar penghidupan menjadi lebih baik. Dokter Rajiman hendak mencari, dan
merasakan dirinya sebagai pribadi yang berdiri, serta menyelusuri, bagaimana
sebenarnya peri kehidupan ini. Akhirnya ia mencari sendiri pasangan hidupnya yang
dia anggap cantik. Mengenai perkawinan, akhirnya ia mencari sendiri sesuai
dengan selera.
Dari Jakarta dipindah ke Banyumas, lalu pindah ke
semarang. Tugasnya tetap, ialah sebagai dokter bedah. Mulai berkenalan dengan
seorang calon guru bernama R. Prawiraharja. Perkenalannya dimulai ketika si
calon guru sakit, diobati, dirawat dengan baik-baik. Perkawinannya dengan
memilih sendiri jodohnya, tidak membuat ketentraman dalam rumah tangganya.
Sebabnya ialah, karena sang istri kurang baik hubungannya dengan Ibunya, yang
pada waktu itu tinggal serumah di Madiun. Karena pikirannya bingung dan buntu,
padahal sarana yang dipergunakan untuk menghilangkan kebingungannya itu dengan
melakukan segala macam MA, barang tentu tidak berdaya guna.
Dari Madiun dipindah ke Jakarta untuk menjadi
pengajar pembantu di sekolah Dokter. Pada waktu itu dokter Rajiman mendapat
kenalan Nyonya Zehenter dan Tuan Warstadt, bersama-sama mempelajari spiritisme.
Pada acara “Sceans” ada seorang peramal yang meramalkan, bahwa istri Dokter
Rajiman akan melahirkan anak perempuan di Lawang dan hendaknya diberi nama
Setyawati.
Kira-kira tahun 1904 dokter Rajiman dipindah
tugaskan ke Kota Sragen yang menjadi wilayah Surakarta Hadiningrat. Pada masa
itu di Sragen sedang dalam masa kakawin, seni gamelan, dan ilmu Jawa. Ketika
dokter Rajiman tinggal di Sragen ia mendirikan perkumpulan yang kegiatannya
mengadakan sarasehan-sarasehan. Perkumpulan itu bernama Wedha Sanjaya yang
bermakna: semoga menjadi sumber penerang.
Setelah mengabdikan diri menjadi dokter di daerah
Kota Sragen. Kini dokter Rajiman dipindah tugaskan di Lawang sebagai dokter
rumah sakit jiwa. Selama kurang lebih 10 bulan tinggal di Lawang ia tetap menjalin
hubungan dengan kerajaan Surakarta Hadiningrat yang pada akhirnya menjadikan
Rajiman sebagai dokter kerajaan Surakarta.
Di Surakarta dokter Rajiman Mangunhusada mendapat
rumah yang sekaligus dijadikan klinik di kampung kepatihan wetan, di depan
Reksaprajan, yang kelak dikemudian hari tetap menjadi rumahnya, dan dinamakan
Wedyaningratan hingga saat ini.
Dengan semakin banyaknya pasien yang menggunakan
bahasa Jawa. Maka, hal ini memacu semangat dokter Rajiman untuk belajar memakai
bahasa Jawa. Karena ketekunannya, sungguh-sungguh dalam melakukan kewajiban,
melatih diri lahir-batin, bercegah, berprihatin, tersohor dan hebat. Pada waktu
itu Al-Qur’an dialih bahasakan ke dalam bahasa lain masih belum bisa diterima
oleh masyarakat Indonesia secara luas.
Sesudah kelahiran perkumpulan Budi Utomo dapat
mengugah kesadaran masyarakat. Sekembalinya dokter Rajiman dari Eropa dengan
menyandang gelar “Arts” namanya semakin terkenal, semakin mendapat perhatian
masyarakat, dan tampaknya sudah ada yang mau menerima pendapatnya. Bahwa usaha
mencapai kemajuan itu lebih baik menggunakan dalam kebudayaan sendiri,
mempelajari ilmu dan kejiwaan yang selaras dengan dasar tersebut serta kondisi
sendiri, dan tetap memegang teguh prinsip sendiri yang pernah dipaparkannya
ketika Budi Utomo berdiri.
Berdasarkan masa kerjanya yang sudah cukup, dan
telah banyak pula jasanya, lalu diangkatlah dia menjadi bupati dokter dengan
nama Raden Tumenggung Wedyaningrat, sampai mendapat sebutan kanjeng, dan
mendapat anugerah berbagai bintang. Pada saat inilah ia menggunakan kitab-kitab
Jawa untuk menjadi pedoman dalam menjabat bupati dokter.
Penyakit rematik yang di derita oleh dokter Rajiman
sering kambuh dan ia merasa tidak sanggup menjalankan kewajibannya sebagai
seorang dokter. Meskipun banyak pembesar yang ingin mempertahankannya. Namun,
dokter Rajiman tetap meminta pensiun. Mulai bulan Februari 1936 ia diizinkan
untuk pensiun, lalu pindah ke Tretes. Banyak yang akan memberikan penghormatan,
karena merasa telah banyak berhutang budi. Banyak kaum bangsawan, para tuan
dari berbagai bangsa, para sahabat, handai taulan, dan lain-lainnya yang sangat
kecewa karena tidak dapat menyaksikan keberangkatan dokter K.R.T.
Wedyadiningrat ketika pindah ke Tretes. [Abdul Wahid]
Komentar
Posting Komentar