Pengertian, Awal Mula, dan Periodisasi Kesusastraan Indonesia
- PENGERTIAN SEJARAH SASTRA INDONESIA
Secara
Umum, Sejarah adalah kejadian yang terjadi di masa lampau yang disusun
berdasarkan peninggalan-peninggalan berbagai peristiwa. Atau secara sederhana
dapat dipahami, sejarah adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari segala
peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa lampau umat manusia.
Istilah sejarah berasal dari bahasa Kata sejarah itu sendiri berasal dari
bahasa Arab yakni syajaratun. Kata syajaratun berarti pohon kayu yang
bercabang-cabang. Pohon yang bercabang-cabang diibaratkan sebagai suatu
silsilah keturunan dari suatu individu, raja atau orang-orang penting pada masa
lampau.
Sedangkan
sastra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 2008 adalah “karya tulis yang
bila dibandingkan dengan tulisan lain, ciri-ciri keunggulan, seperti keaslian,
keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya”. Karya sastra berarti
karangan yang mengacu pada nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang
indah. Sastra memberikan wawasan yang umum tentang masalah manusiawi, sosial,
maupun intelektual, dengan caranya yang khas. Pembaca sastra dimungkinkan untuk
menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan wawasannya sendiri. Istilah
sastra menurut asal usulnya, berasal dari bahasa Sansekerta yang mempunyai
makna “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śās-
yang bemakna “instruksi” atau “ajaran”.
Jadi,
secara sederhana sejarah sastra adalah salah satu cabang ilmu bahasa yang
mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Dalam hal ini
penulis akan membahas tentang Sejarah Sastra Indonesia. Yakni pertumbuhan dan
perkembangan sastra di Indonesia. Kata Indonesia sendiri merujuk pada suatu
bangsa atau negara kepulauan yang merdeka pada 17 Agustus 1945.
Dengan
pengertian dasar itu, tampak bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa
yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Telah
disinggung di depan bahwa sejarah sastra itu bisa menyangkut karya sastra,
pengarang, penerbit, pengajaran, kritik, dan lain-lain.
Secara
umum, periodisasi Sejarah Sastra Indonesia terbagi dalam beberapa angkatan
seperti:
·
Angkatan Balai Pustaka
·
Angkatan Pujangga Baru
·
Angkatan ’45
·
Angkatan 50-an
·
Angkatan 60-an
·
Angkatan kontemporer (70-an--sekarang).
Secara
detail, periodisasi periodisasi Sejarah Sastra Indonesia akan dibahas pada Bab
selanjutnya.
- Awal Mula Lahirnya Sastra
Indonesia
Pada
sebuah buku yang berjudul “Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern” tulisan Pamusuk
Eneste dijelaskan, 3 versi tentang sejarah kesusastraan Indonesia itu lahir
atau terbentuk. Umar Yunus berpendapat, sastra ada sesudah bahasa ada. Misalkan,
“sastra X ada sesudah bahasa X ada”. Karena bahasa Indonesia baru lahir saat adanya
sumpah pemuda pada tahun 1928, maka Umar Yunus berpendapat bahwa kesusastraan Indonesia
baru lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Sehingga menurutnya, karya sastra yang
terbit sebelum tahun 1928 dianggap bukan digolongkan sebagai hasil satra Indonesia. Melainkan
sebagai hasil karya Sastra Melayu saja.
Sedangkan
Ajip Rosidi, memiliki pendapat lain. Menurutny, bahasa tidak bisa dijadikan
patokan sebagai kapan sastra itu lahir. Karena, sebelum bahasa diakui secara
resmi tentulah bahasa itu sudah ada dan sudah digunakan oleh masyarakat
pengguna bahasa. Ajip berpendapat, yang seharusnya dijadikan patokan adalah
kesadaran kebangsaan. Berdasarkan kesadaran kebangsaan inilah Ajip menetapkan
lahirnya kasusastraan Indonesia itu tahun 1920/1921 atau tahun 1922. Karena
pada waktu itu pemuda Indonesia seperti Muhammad Yamin, Sanusi Pane, dan
lain-lainnya menegaskan, bahasa Indonesia itu berbeda dengan Sastra Melayu.
Versi
ketiga adalah menurut pendapat dari A.Teeuw. Ia memiliki pendapat yang berbeda
dari dua tokoh diatas. Akan tetapi, tahun lahirnya Sastra Indonesia hampir sama
dengan Ajip yaitu tahun 1920. Menurutnya, pada waktu itu para pemuda Indonesia
untuk pertama kali menyatakan perasaan dan ide yang terdapat pada masyarakat
tradisional setempat dan menuangkannya dalam bentuk sastra. Selain itu, pada
tahun yang sama para pemuda juga menulis puisi baru Indonesia. Lalu A. Teeuw
menegaskan pendapat lahirnya kesusastraan Indonesia pada tahun 1920 karena pada
tahun ini terbit novel Mirari Siregar yang berjudul Azab dan Sensara.
- Periodisasi Sastra
Indonesia
Periodisasi
sejarah sastra Indonesia secara eksplisit telah diperlihatkan oleh Ajip Rosidi
dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969). Secara garis besar Ajib Rosidi
(1969: 13) membagi sejarah sastra Indonesia sebagai berikut:
- Masa
Kelahiran mencakup kurun waktu 1900-1945 yang dapat dibagi lagi menjadi
beberapa periode, yaitu:
1. Periode
awal hingga 1933
2. Periode
1933-1942
3. Periode
1942-1945
- Masa
Perkembangan mencakup kurun waktu 1945-1968 yang dapat dibagi menjadi beberapa periode, yaitu
1. Periode
1945-1953.
2. Periode
1953-1961.
3. Periode
1961-1968.
Menurut
Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) adalah persoalan adat
yang sedang menghadapai akulturasi sehingga menimbulkan berbagai masalah bagi
kelangsungan eksistensi masing-masing daerah. Sedangkan periode 1933-1942
diwarnai dengan pencarian tempat di tengah pertarungan antara kebudayaan Timur
dan Barat dengan pandangan romantic-idealis.
Perubahan
terjadi pada periode 1942-1945 atau masa pendudukan Jepang yang melahirkan warna
pelarian, kegelisahan, dan peralihan. Sedangkan warna perjuangan dan pernyataan
diri di tengah kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953 dan selanjutnya
warna pencarian identitas diri sekaligus penilaian kembali terhadap warisan
leluhur tampak menonjol pada periode 1953-1961. Sedangkan, pada periode
1961-1968 yang tampak menonjol adalah warna perlawanan dan perjuangan
mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan
penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra.
Pada
kenyataanya, telah tercatat lima angkatan yang muncul pada rentang waktu 10–15
tahun sehingga dapat disusun perodisasi sejarah sastra Indonesia modern sebagai
berikut:
- Sastra
Awal (1900 – an )
- Sastra
Balai Pustaka (1920 – 1942)
- Sastra
Pujangga Baru (1930 – 1942)
- Sastra
Angkatan 45 (1942 – 1955)
- Sastra
Generasi Kisah (1955 – 1965)
- Sastra
Generasi Horison (1966)
Periodisasi
Sejarah Sastra Indonesia menurut Jakob Sumardjo didasarkan pada nama badan
penerbitan yang menyiarkan karya para sastrawan. Seperti Penerbit Balai
Pustaka, majalah Pujangga Baru, majalah Kisah, dan majalah Horison, kecuali
angkatan 45 yang menggunakan tahun revolusi Indonesia. Ada juga penamaan
angkatan 66 yang dicetuskan H.B. Jassin dengan merujuk pada gerakan politik
yang penting di Indonesia sekitar tahun 1966.
Penulisan
sejarah sastra Indonesia dapat dilakukan dengan dua cara atau metode, yaitu
(1) menerapkan teori estetika resepsi
atau estetika tanggapan, dan (2) menerapkan teori penyusunan rangkaian
perkembangan sastra dari periode atau angkatan ke angkatan. Di samping itu,
sejarah sastra Indonesia dapat juga dilakukan secara sinkronis dan diakronis. Sinkronis
berarti penulisan sejarah sastra dalam salah satu tingkat perkembangan atau
periodenya. Sedangkan yang diakronis berarti penulisan sejarah dalam berbagai
tingkat perkembangan, dari kelahiran hingga perkembangannya yang terakhir.
Setelah
meninjau periodisasi sejarah sastra Indonesia dari Jakob Sumardjo dan Ajip
Rosidi, maka muncullah tawaran lain dari Rachmat Djoko Pradopo mengenai periodisasi
sejarah sastra Indonesia sebagai berikut:
- Periode
Balai Pustaka :
1920-1940
- Periode
Pujangga Baru :
1930-1945
- Periode
Angkatan 45 :
1940-1955
- Periode
Angkatan 50 :
1950-1970
- Periode
Angkatan 70 :
1965-1984
Dari
pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan periodisasi sastra sebagai
berikut:
- Angkatan
Balai Pustaka
- Angkatan
Pujangga Baru
- Angkatan
’45
- Angkatan
50-an
- Angkatan
60-an
- Angkatan
kontemporer (70-an--sekarang).
Berikut
adalah penjelasan singkat tentang angkatan-angkatan yang terdapat dalam
periodisasi Sejarah Kesusastraan Indonesia:
a)
Angkatan
Balai Pustaka
Nama
penerbit Balai Pustaka sudah tidak asing bagi masyarakat terpelajar Indonesia. Karena
sampai sekarang Balai Pustaka merupakan salah satu penerbit besar yang banyak
memproduksi berbagai jenis buku. Nama
tersebut telah bertahan hampir 100 tahun, kalau dihitung dari berdirinya pada
tahun 1917 yang merupakan pengukuhan komisi untuk Sekolah Bumiputra dan Bacaan
Rakyat (commissie voor de inlandsche
school en volkslectuur) yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda
pada 14 september 1908. Penerbit Balai Pustaka merupakan bagian pemerintah kolonial
yang semangatnya boleh dikatakan berseberangan dengan penerbit-penerbit swasta,
baik yang semata-mata bervisi komersial maupun bervisi kebangsaan. Akan tetapi, mengingat sejarahnya yang
panjang itu maka sepantasnya menjadi bagian khusus dalam pengkajian atau telaah
sejarah sastra Indonesia.
Secara
teoretis dapat dikatakan banyak masalah yang dapat diungkapkan dari Balai Pustaka
selama ini. Antara lain visi dan misi, status, program kerja, para tokoh,
kebijakan redaksi, pengarang,
distribusi, dan produksi. Telaah semacam
itu dapat dijadikan pengkajian sejarah mikro yang pasti relevan dengan sejarah
makro sastra Indonesia. Ditambah dengan
pengkajian berbagai gejala yang berkembang di sekitarnya pastilah memperluas
wawasan pengetahuan masyarakat. Mungkin saja kemudian berkembang pendapat bahwa
balai pustaka ternyata bukan satu-satunya penerbit pada tahun 1920-an membuka
tradisi sastra modern, atau justru dilupakan saja karena berjejak kolonial.
Ciri-ciri
umum roman angkatan Balai Pustaka:
- Bersifat
kedaerahan, karena mengungkapkan persoalan yang hanya berlaku di daerah tertentu,
seperti adat di Sumatra Barat.
- Bersifat
romantic-sentimental, karena ternyata banyak roman yang mematikan
tokoh-tokohnya atau mengalami penderitaan yang luar biasa.
- Bergaya
bahasa seragam, karena dikemas oleh redaksi Balai Pustaka, sehingga gaya
bahasanya tidak berkembang.
- Bertema
sosial, karena belum terbuka kesempatan mempersoalkan masalah polotik,
watak, agama, dan lain-lain.
b)
Angkatan
Pujangga Baru
Buku
Pujangga Baru, Prosa dan Puisi yang disusun oleh H.B Jasin adalah sebuah bunga
rampai (antologi) dari para pengarang dan penyair yang oleh penyusunnya
digolongkan ke dalam Angkatan Pujangga Baru. Pujangga Baru muncul sebagai
reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya
tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang
menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru
adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis. Ketika sastra Indonesia
dikuasai oleh angkatan Pujangga Baru, masa-masa tersebut lebih dikenal sebagai
Masa Angkatan Pujangga Baru. Masa ini dimulai dengan terbitnya majalah Pujangga
Baru pada Mei 1933. Majalah inilah yang merupakan terompet serta penyambung
lidah para pujangga baru. Penerbitan majalah tersebut dipimpin oleh tiga
serangkai pujangga baru, yaitu Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sutan Takdir
Alisjahbana.
Dalam
manivestasi Pujangga Baru dinyatakan bahwa fungsi kesusastraan itu, selain
melukiskan atau menggambarkan tinggi rendahnya suatu bangsa, juga mendorong
bangsa tersebut ke arah kemajuan. Sebenarnya para sastrawan Pujangga Baru serta
beberapa orang sastrawan Pujangga Siti Nurbaya sangat dipengaruhi oleh para sastrawan
Belanda angkatan 1880 (De Tachtigers).
Hal ini tak mengherankan, karena pada jaman itu banyak pemuda Indonesia yang
berpendidikan barat, bahkan mendalami bahasa serta kesusastraan Belanda. Lain
halnya dengan Buya Hamka. Ia adalah pengarang prosa religius yang bernafaskan
Islam. Ia lebih dipengaruhi oleh pujangga Mesir yang kenamaan, yaitu
Al-Manfaluthi. Beda lagi dengan Sanusi Pane yang lebih banyak dipengaruhi oleh sastrawan
dari India ketimbang oleh Barat. Sehingga ia dikenal sebagai seorang pengarang
mistikus ke-Timuran.
Karakteristik
Karya Angkatan Pujangga Baru
1. Dinamis.
2. Bercorak
romantik/idealistis, masih secorak dengan angkatan sebelumnya, hanya saja
kalau romantik angkatan
Siti Nurbaya bersifat
fasip, sedangkan angkatan
Pujangga Baru aktif romantik. Hal ini berarti bahwa cita-cita atau ide
baru dapat mengalahkan atau menggantikan apa yang sudah dianggap tidak berlaku
lagi.
3. Angkatan Pujangga
Baru menggunakan bahasa
Melayu modern dan
sudah meninggalkan bahasa klise.
Mereka berusaha membuat
ungkapan dan gaya
bahasa sendiri. Pilihan kata,
Penggabungan ungkapan serta
irama sangat dipentingkan
oleh Pujangga Baru sehingga dianggap terlalu dicari-cari.
c)
Angkatan
45’
Jika diruntut
berdasarkan periodesasinya, sastra
Indonesia Angkatan ‘45
bisa dikatakan sebagai angkatan
ketiga dalam lingkup
sastra baru Indonesia,
setelah angkatan Balai Pustaka
dan angkatan Pujangga
Baru. Munculnya karya-karya
sastra Angkatan ‘45 yang
dipelopori oleh Chairil
Anwar ini memberi
warna baru pada
khazanah kesusastraan Indonesia. Bahkan
ada orang yang
berpendapat bahwa sastra
Indonesia baru lahir
dengan adanya karya-karya Chairil Anwar, sedangkan karya-karya pengarang
terdahulu seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, St.Takdir Alisjahbana, dan
lain-lainnya dianggap sebagai karya sastra Melayu. Pada mulanya
angkatan ini disebut
dengan berbagai nama,
ada yang menyebut Angkatan Sesudah
Perang, Angkatan Chairil
Anwar, Angkatan Kemerdekaan,
dan lain-lain. Baru pada
tahun 1948, Rosihan
Anwar menyebut angkatan
ini dengan nama
Angkatan ‘45. Nama ini segera
menjadi populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi. Meskipun namanya sudah ada, tetapi
sendi-sendi dan landasan ideal angkatan ini belum dirumuskan.
Baru pada tahun
1950 “Surat Kepercayaan
Gelanggang” dibuat dan diumumkan.
Ketika
itu Chairil Anwar sudah meninggal. Surat kepecayaan itu ialah semacam
pernyataan sikap yang menjadi dasar
pegangan perkumpulan “Selayang Seniman Merdeka”. Masa Chairil Anwar masih hidup. Angkatan ‘45 lebih realistik dibandingkan
dengan Angkatan Pujangga Baru yang romantik idealistik. Semangat patriotik yang
ada pada sebagian besar sastrawan Angkatan ‘45 tercermin dari
sebagian besar karya-karya
yang dihasilkan oleh
parasastrawan tersebut. Beberapa
karya Angkatan ‘45 ini mencerminkan perjuangan menuntut kemerdekaan. Banyak
pula di antaranya yang selalu
mendapatkan kecaman, di antaranya Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya dengan
keprofesionalannya masih eksis
menghasilkan karya-karya terutama mengenai perjuangan mencapai
kemerdekaan Indonesia. Bahkan sampai saat ini karya-karya Pramoedya masih
digandrungi khususnya oleh penikmat sastra. Sebegitu banyak
orang yang memproklamasikan kelahiran
dan membela hak hidup
Angkatan ‘45, sebanyak
itu pulalah yang
menentangnya. Armijn Pane berpendapat bahwa Angkatan ‘45 ini
hanyalah lanjutan belaka dari apa yang sudah dirintis oleh angkatan
sebelumnya, yaitu Angkatan
Pujangga Baru.
d)
Angkatan
‘50
Slamet Muljono
pernah menyebut bahwa
sastrawan Angkatan ‘50
hanyalah pelanjut (successor)
saja, dari angkatan sebelumnya (’45). Tinjauan
yang mendalam dan
menyeluruh membuktikan bahwa
masa ini pun memperlihatkan ciri-cirinya, yaitu:
- Berisi
kebebasan sastrawan yang lebih luas di atas kebiasaan (tradisi) yang
diletakan pada tahun 1945.
- Masa
‘50 memberikan pernyataan tentang aspirasi (tujuan yang terakhir dicapai
nasional lebih lanjut). Periode
‘50 tidak hanya
pengekor (epigon) dari
angkatan ‘45, melainkan merupakan survival, setelah melalui
masa-masa kegonjangan.
Adapun
ciri-cirinya yang lebih rinci adalah sebagai berikut:
- Pusat kegiatan
sastra makin banyak
jumlahnya dan makin
meluas daerahnya hampir di seluruh Indonesia, tidak hanya
berpusat di Jakarta dan Yogyakarta.
- Terdapat pengungkapan yang
lebih mendalam terhadap
kebudayaan daerah dalam menuju perwujudan sastra nasional
Indonesia.
- Penilaian
keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan kepada kekuasaan asing,
tetapi lebih kepada peleburan (kristalisasi) antara
ilmu dan pengetahuan asing
dengan perasaan dan ukuran nasional.
e)
Angkatan
60-an
Angkatan
ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada
angkatan ini. Banyak karya sastra pada
angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra, antara lain munculnya
karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dan
lain-lain pada masa angkatan ini di Indonesia. Penerbit Pustaka Jaya sangat
banyak membantu dalam menerbitkan karya karya sastra pada masa angkatan
ini. Sastrawan pada akhir angkatan yang
lalu termasuk juga dalam kelompok ini seperti Motinggo Busye, Purnawan
Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko
Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B.
Jassin.
Seorang
sastrawan pada angkatan 50-60-an yang mendapat tempat pada angkatan ini adalah
Iwan Simatupang. Pada masanya, karya
sastranya berupa novel, cerpen dan drama kurang mendapat perhatian bahkan
sering menimbulkan kesalahpahaman; ia lahir mendahului zamannya.
f)
Angkatan
70-an
Tahun
1960-an adalah tahun-tahun subur bagi kehidupan dunia perpuisian Indonesia.
Tahun 1963 sampai
1965 yang berjaya
adalah para penyair
anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Karya Sastra
sekitar tahun 1966
lazim disebut angkatan
‘66. H.B. Jassin
menyebut bahwa pelopor angkatan
‘66 ini adalah
penyair-penyair demonstran, seperti
Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad,
Mansur Samin, Slamet Kirnanto, dan sebagainya. Tahun 1976
muncul puisi-puisi Sutardji
Calzoum Bachri yang
menjadi cakrawala baru dalam
dunia perpuisian Indonesia. Berikut ini disajikan beberapa penyair dan
karyanya.
Seiring
terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke B.J. Habibie
lalu K.H. Abdurahman
Wahid (Gus Dur)
dan Megawati Soekarno
Putri, muncul wacana tentang sastrawan reformasi. Munculnya
angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra puisi,
cerpen maupun novel,
yang bertemakan sosial-politik, khususnya
seputar reformasi. Di rubrik sastra Harian Republika misalnya, selama
berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak
reformasi. Berbagai pentas pembacaaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi
juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik. Sastrawan reformasi merefleksikan
keadaan sosial dan
politik yang terjadi
pada akhir 1990-an,
seiring dengan jatuhnya Orde
Baru. Peristiwa reformasi
1998 banyak melatar
belakangi kelahiran
karya-karya sastra seperti
puisi, cerpen, dan
novel. Bahkan, penyair
yang semula jauh
dari tema sosial-politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Acep Zamzam
Noer dan Ahmadun Yosi Herfanda, juga ikut meramaikan suasana itu dengan
sajak-sajak sosial-politik mereka.
- Daftar Pustaka
Eneste,
Pamusuk. 1988. Ikhtisar Kesusasatraan
Indonesia Modern. Jakarta: Djambatan.
Pradopo,
Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori
Sastra Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rosidi,
Ajip. 1986. Ikhtisar sejarah sastra
Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
Yudiono.K.S.
2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia.
Jakarta: Grasindo.
Sumber Internet:
http://nurhasanah7.blogspot.co.id/2012/01/periode-sastra-di-indonesia-menurut.html
diakses pada tanggal 3 Oktober 2015.
http://jafarudinbastra.blogspot.co.id/2012/06/sejarah-sastra-indonesia.html
diakses pada tanggal 3 Oktober 2015.
Terimakasih. Sangat membantu.
BalasHapus