Sultan Turki Mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa
Sambutan lengkap Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam
Acara Kongres Umat Islam ke-6
Bismillahhirahmannirahim
Assalamu'alaikum
Wr. Wb.
Sebagai kata pembuka
"Selamat Datang," marilah kita panjatkan puja-puji disertai rasa
syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berbagai nikmat kepada kita.
Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah
menghantarkan kita untuk tetap iman, Islam dan ihsan dalam menjalankan syariat
Islam hingga kini dan nanti.
Kongres Umat
Islam ke-6 yang diselenggarakan di Yogjakarta, dan kini pembukaannya insya'
Allah berlangsung di Pegelaran Kraton, mengandung makna simbolik sebuan ziarah
spiritual, karena bangunan Pagelaran ini disangga oleh 64 buah tiang, yang
menandai usia Rasulullah SAW dalam perhitungan tahun Jawa.
Sehingga,
kongres yang dirancang untuk napak laku kongres sebelumnya yang juga
dilaksanakan di Yogyakarta, akan menjadi memberi makna historis, agar umat
Islam melakukan introspeksi diri dan retrospeksi atas perjalanan sejarah.
Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan R.
Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam
(Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa Ilaha Illallah berwarna
unggu kehitaman terbuat dari kain kiswah ka'bah, dan bendera bertuliskan
Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta
sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil
Kekhalifahan Turki.
Ketika 1935
Ataturk mengubah sistem kalender Hijriah menjadi Masehi, jauh pada zaman Sultan
Agung tahun 1633 telah mengembangkan kalender Jawa dengan memadukan tarikh
Hijriyah dengan tarikh Saka. Masa itu sering disebut sebagai awal Renaisans
Jawa.
Jika kita melakukan retrospeksi, dalam
sejarah Islam Modern disebutkan, pada abad 19-20 muncul gerakan kebangkitan
Islam. Pelopornya adalah Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal,
dan Ali Jinnah. Mereka menganjurkan , agar kaum Muslimin membumikan ijtihad dan
jihad fi-sabilillah, serta memperkokoh solidaritas Islam.
Mungkin tidak banyak yang mengetahui,
bahwa keberangkatan KH. Ahmad Dahlan, yang saat itu adalah abdi dalem Kraton,
justru atas dorongan dan dukungan Sri Sultan HB VII. Bakda membaca dalam
"Tafsir Al Manaar" karya Abduh, pada 1912 ia pun mendirikan
perserikatan Muhammadiyah di Yogyakarta.
Bapak Wakil Presiden serta Hadirin dan
Hadirat yang dimuliakan Allah,
Dalam
artikel: “Indonesianisme dan Pan-Asiatisme”. Bung Karno mengutip tulisan
Frances Woodsmall, “Moslem Women Enter A New World”, bahwa Turki modern adalah
anti-kolot, anti soal-soal lahir dalam hal ibadat, tetapi tidak anti agama.
Islam sebagai kepercayaan person
tidaklah dihapuskan, sembahyang di masjid-masjid tidaklah diberhentikan,
aturan-aturan agama pun tidak dihapuskan. “Kita Datang dari Timur, Kita
Berjalan Menuju ke Barat”, demikian entri poin artikel Bung Karno tersebut
mengutip tulisan Zia Keuk Alp.
Bapak Wakil Presiden serta Hadirin dan
Hadirat yang dimuliakan Allah,
Di
tahun 1903, saat diselenggarakan kongres Khilafah di Jakarta oleh Jamiatul
Khair, yang berdiri 1903, Sultan Turki mengirim utusan Muhammad Amin Bey.
Kongres menetapkan fatwa, haram hukumnya bagi muslim tunduk pada penguasa
Belanda, dengan merujuk ajaran Islam : “Hizbul
wathan minal iman” (“Cinta tanah air adalah bagian dari iman”). Dari
kongres inilah benih-benih dan semangat kemerdekaan membara.
Dalam
bukunya : “The Rising Tide of Color
Against White World-Supremacy” (1920), Lothrop Stoddard mendalilkan
keruntuhan supremasi kolonialisme Barat, karena cepatnya pertumbuhan
(tide=pasang naik) populasi penduduk kulit berwarna. Dalam buku berikutnya, “The New World of Islam” (1921), ia
meramalkan kebangkitan Dunia Islam di awal abad-20 untuk meraih kembali
kejayaan masa silam adalah suatu keniscayaan sejarah.
Lalu,
apa relevansinya uraian tersebut dalam konteks kongres ini? Diharapkan kongres
ini menjadi jembatan antara penguasa dan rakyat melalui media forum komunikasi
dan silaturahmi ulama. Sebagai forum ulama, paling tidak harus mencerminkan dua
peran keulamaan, paling tidak harus mencerminkan dua peran keulamaan,
mas’uliyyatur ri’ayah --tanggung jawab kepemimpinan—dan adhillatut thariqah
--petunjuk jalan. Dengan dua peran utama itu, kongres ini harus membawa
aspirasi umat tanpa membeda-bedakan mazab sesuai fungsinya sebagai khadimul
ummah --pelayan umat.
Sebagai
wadah berkumpulnya para ulama, cendekiawan dan tokoh Muslim beragam mazab,
Badan Pekerja Kongres harus berani menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, berupa
dakwah, pendidikan serta memberi nasihat politik berbasis keagamaan kepada
pemerintah dan umat Islam atas sesuatu perkara, terutama saat terjadinya
ketidakpastian seperti sekarang ini. Sehingga segala kebijakan, fatwa dan sikapnya
selalu mengacu pada kemashlahatan umat atas dasar ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah
basariyah.
Dengan
tema: “Penguatan Peran Politik, Ekonomi dan Sosial-Budaya yang Berkeadilan dan
Berperadaban”, berarti tidak hanya mencakup masalah ibadah atau ubudiyah,
tetapi juga kemaslahatan di dunia, menyangkut muamalah –hubungan sosia—yang
berkorelasi dengan urusan politik. Dengan berpedoman pada pendapat Bung Karno
tersebut, kiranya kongres ini akan menemukan solusi di jalan lurus-Nya.
Dengan
harapan seperti itulah, pemerintah dan rakyat Yoyakarta menyambut digelarnya
Kongres Umat Islam ke-6 ini. Semoga Allah SWT. melimpahkan berkah serta
rahmat-Nya, agar kongres ini memberikan kemaslahatan bagi umat, bangsa, negara
dan rakyat Indonesia. Jangan sampai membuat bingung umat Islam, laksana
biji-biji tasbih yang lepas dari tali perangkainya. Akhirul kalam, “Selamat
ber-Kongres, semoga sukses!”
Sekian, terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 9 Februari 2015
GUBERNUR
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,
Komentar
Posting Komentar