Tabayun Sebagai Salah Satu Produk Budaya Islam Sepanjang Zaman untuk Terciptanya Tatanan Masyarakat Bersih dan Berkeadilan

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurat : 6)
Mulut itu laksana sebuah pedang tajam yang bermata dua. Dengan mulut kita dapat menuju ke surga namun dengan mulut pula kita bisa terjerumus ke jurang neraka. Hal ini sangat tergantung bagaimana cara kita mengolah dan mengelola mulut tersebut. Dengan mulut kita bisa berkata. Perkataan baik bisa menjadi kebiasaan bila selalu diulang-ulang. Begitu pula dengan sebaliknya, perkataan kita bisa menjadi kebiasaan yang buruk nan hina bila terus diulang-ulang.
Dalam menyelesaikan suatu  masalah, ada satu faktor penting yang menjadi dasar pijakan, yaitu informasi. Bagaimana pun, seseorang dalam mengambil keputusan berdasarkan kepada pengetahuan, dan pengetahuan berdasar kepada informasi yang sampai kepadanya. Jika informasi itu akurat, maka seseorang akan bisa tepat dalam mengambil keputusan. Sebaliknya, bila informasi itu tidak akurat akan mengakibatkan munculnya keputusan yang tidak tepat. Dan pada giliran selanjutnya, akan memuncul sebuah kezaliman di tengah-tengah masyarakat.
Kebenaran suatu informasi akan menunjukkan seberapa besar kualitas kejujuran orang yang menyampaikan informasi tersebut. Dengan semakin terjaganya keaslian dari sumber informasi (baca: berita) tersebut. Maka, informasi itu akan menjadi kekuatan yang tak terbantahkan apalagi termentahkan. Suri teladan kita  Rasulullah SAW mempunyai komitmen yang sangat luhur untuk selalu berpegang teguh kepada kebenaran, meskipun rasanya pahit. Rasulullah SAW  pernah bersabda, “Katakanlah yang benar walau rasanya pahit.” (HR. Ibnu Majah).
Tugas utama kita dalam menyampaikan informasi bukan dengan merangkai kata-kata indah bak puisi yang muluk-muluk dengan susunan gaya bahasa yang wah, memikat, bikin tercekat, dan menggoda yang membuat hati terlena. Bukan seperti itu. Namun bagaimana sebuah pesan dapat disampaikan secara gamblang, benar, dan jelas.
Semua informasi adalah berita penting. Yakni berita yang berpengaruh secara signifikan terhadap suatu perkara maupun terhadap tindakan apa yang akan diambil untuk menentukan nasib seseorang. Apalagi berita penting yang dibawa oleh orang fasik untuk merendahkan dan menghancurkan umat Islam. Maka berita itu sangat penting dan dapat berpengaruh sangat signifikan terhadap suatu perkara. Tentang arti fasik sendiri oleh sebagian ulama dijelaskan bahwa mereka adalah orang yang berbuat dosa besar karena berdusta. Berdusta termasuk dalam salah satu dosa besar berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Maukah kalian aku beritahukan tentang dosa besar yang paling besar, lalu beliau menjelaskan, kata-kata dusta atau kesaksian dusta”. (HR Bukhari dan Muslim)
Sebenarnya persoalan dusta bisa dianggap sebagai dosa besar atau dosa kecil tergantung pada masalah yang diberitakannya. Jika informasi tersebut menyangkut persoalan penting yang berimplikasi besar, maka berdusta bisa masuk ke dalam kategori dosa besar. Akan tetapi jika persoalan yang disampaikan secara dusta itu persoalan yang remeh-temeh, sepele, dan tidak berimplikasi apa-apa. Maka hal tersebut hanya masuk ke dalam dosa kecil. Meskipun begitu, perbuatan dusta merupakan salah satu kebiasaan yang sangat tidak terpuji. Sehingga di dalam bai’at Aqabah Rasulullah SAW memasukkan unsur “tidak berdusta” ke dalam salah satu poin bai’at. Terlepas dari penyebutan dosa besar maupun dosa kecil. Orang yang biasa berdusta menunjukkan bahwa kepribadiannya meragukan dan segala kata-katanya akan sangat sulit untuk dipercayai. M. Quraish Shihab dalam bukunya mengatakan, “Al-Qur’an memberi petunjuk kepada kaum muslim bahwa berita yang perlu diperhatikan dan diselidiki adalah berita yang sifatnya penting. Adapun isu-isu ringan, omong kosong, dan berita yang tidak bermanfaat tidak perlu diselidiki. Bahkan tidak perlu didengarkan karena hanya akan menyita waktu dan energi.” (M. Quraish Shihab, 2006 : 262)
Dalam hal mengklarifikasi suatu berita yang berasal dari orang yang berkarakter meragukan ini ada kebiasaan indah yang perlu diteladani dari para ahli hadis. Mereka telah mentradisikan sebuah kebiasaan tabayun. Tabayun adalah perbuatan meneliti dan mencari tahu kebenaran suatu informasi kepada sumbernya sebelum menyebarluaskan informasi tersebut. Kebiasaan ini sangat diperhatikan oleh para perawi hadis dalam meriwayatkan hadis. Mereka menolak setiap hadis yang berasal dari pribadi yang tidak dikenal identitasnya (majhul hal) atau pribadi yang diragukan integritasnya (dla’if). Sebaliknya, mereka mengharuskan menerima informasi itu jika berasal dari seorang yang berkepribadian jujur (tsiqah). Untuk itulah kadang-kadang mereka harus melakukan perjalanan berhari-hari untuk mengecek apakah sebuah hadis yang diterimanya itu benar-benar berasal dari sumber yang valid atau tidak.
Tapi sayang, tradisi semacam ini kurang diperhatikan oleh kaum muslimin di era globalisasi. Pada umumnya orang begitu mudah percaya kepada berita di koran, majalah, dan televisi. Kaum muslimin di era globalisasi seperti ini juga lebih mudah percaya kepada berita yang bersumber dari orang kafir. Padahal kekafiran itu adalah puncak kefasikan. Sehingga dalam pandangan ahlul hadist, orang kafir itu sama sekali tidak dapat dipercaya periwayatannya.
Sementara orang-orang kafir dalam menyebarkan berita jelek tentang umat Islam akan mendapatkan dukungan yang kuat dari media massa yang berpaham bad news is good news sehingga berita yang mereka sebarkan seperti berada di atas angin.  Ketika mereka menuduh seseorang atau suatu kelompok tertentu sebagai teroris. Maka dengan sertamerta semua orang seperti grup paduan suara yang langsung mengikuti berita itu secara taken of granted. Sebagai contoh, kejadian yang dialami oleh organisasi kerohanian Islam (ROHIS). Organisasi ini oleh salah satu stasiun televisi swasta nasional diberitakan sebagai wadah untuk mencetak teroris atau disebut sebagai sarang teroris. Namun, sampai sekarang tidak ada satu pun bukti yang membenarkan kalau ROHIS itu adalah tempat untuk mencetak teroris atau disebut sebagai sarang teroris. Akibat dari informasi tersebut, sebagian umat Islam menjadi terpojok, terkucil, dan jadi terzalimi akibat informasi tersebut. Dalam persoalan seperti ini, seharusnya umat Islam harus berhati-hati dalam menyampaikan berita jika tidak mengetahui kebenaran informasi tersebut secara persis. Maka sebagai seorang muslim kita harus bersikap tawaqquf (diam) yakni jangan mudah memberikan respons, berpendapat, dan menganalisa suatu informasi jika informasi yang kita peroleh belum terbukti kebenarannya atau belum valid. Sebab jika tidak, kita akan terjerumus pada sikap mengikuti isu dan pada akhirnya akan menetapkan sebuah keputusan tanpa fakta. Padahal Allah SWT telah berfirman;
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban”. (Al-Isra’: 36)
Sebuah pemberitaan yang tidak benar akan menimbulkan fitnah. Dan setiap fitnah itu akan menghadirkan kehancuran, permusuhan, dan pertentangan. Fitnah juga dapat menimbulkan kekacauan seperti mengusir sahabat dari kampung halamannya, merampas harta, dan menyakiti atau mengganggu kebebasan seseorang beragama.   Sebagai contoh tentang kejadian yang dialami oleh organisasi kerohanian Islam (ROHIS) yang telah dijelaskan di atas tadi. Kejadian tersebut merupakan sebuah fitnah yang mengakibatkan pengurus ROHIS mendapat kecaman dan cacian dari teman-teman dan guru-guru di sekolah mereka atas pemberitaan yang tidak terbukti kebenarannya. Allah SWT berfirman,“Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang kafir.” (QS. Al-Baqarah : 191)
Dahulu di zaman Rasulullah SAW pernah ada kisah tentang pemberitaan yang tidak benar. Kejadian ini dialami langsung oleh istri Rasullah SAW yakni Aisyah RA. Ini adalah kisah teladan untuk berdiam (tawaqquf) terhadap berita yang tidak jelas sumbernya.
Suatu ketika terjadi berita dusta mengenai diri Aisyah RA. Orang-orang munafik sengaja menyudutkan Aisyah RA yang tertinggal di tengah padang pasir sekembali dari perang Bani Mushthaliq. Mereka menuduhnya telah melakukan selingkuh dengan salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang bernama Shafwan bin Al Mu’aththal As Sulami Adz Dzakwaniy. Para sahabat yang telah teruji keimanannya ketika ditanya tidak ada yang mau memberikan komentar, pendapat, maupun menganalisa berita tersebut. Hingga akhirnya Allah SWT menjelaskan persoalan itu yang sebenarnya. Allah SWT berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nur : 11)
Selain menyampaikan informasi yang bersifat dusta kita sebagai kaum muslimin oleh Allah SWT dilarang menggunjing suatu kelompok maupun seseorang walaupun informasi yang kita pergunjingkan itu benar. Jika pemberitaan yang salah akan menimbulkan fitnah. Maka sifat menggunjing pun pada akhirnya akan melahirkan perbuatan yang hina sebagaimana firman Allah SWT berikut ini,
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 11)
Dengan berhati-hati dalam menyikapi sebuah informasi akan menjadikan kita terhindar dari rasa penyesalan karena memfitnah orang lain. Rasulullah saja sebelum diangkat oleh Allah SWT menjadi seorang nabi dan rasul. Beliau telah mengalami fase tarbiyah murabbaniyah selama empat puluh tahun di mana dalam fase ini beliau telah di beri gelar Al-amin (dapat dipercaya). Dengan cara semacan inilah Allah mendidik Rasulullah supaya menjadi seorang pribadi yang tak ada cela dalam ucapan dan perbuatannya. Kalaupun ada penolakan ketika beliau berdakwah, itu bukan karena cela dan perangai buruk dari kepribadian Nabi. Namun, karena tertutupnya hati orang Mekah pada waktu itu yang masih dominan memiliki sifat iri, dengki, gengsi, serta kesombongan yang bertengger di hati mereka.
Sudah saatnya kita sebagai kaum muslim di era globalisasi ini berkontribusi aktif dalam menyampaikan informasi atau berita secara bersih dan berkeadilan. Yakni menyampaikan informasi apa adanya tanpa ditambah-tambahi unsur-unsur yang tidak terbukti kebenarannya. Sedangkan menyampaikan informasi secara berkeadilan yaitu menyampaikan informasi secara objektif tanpa ada campur tangan dari pihak manapun untuk menyudutkan seseorang atau suatu kelompok tertentu.
Mari kita berkontribusi nyata untuk menyajikan informasi yang gamblang, benar, dan jelas. Karena dengan perkataan saja tidaklah cukup untuk kita memerangi pemberitaan yang tidak jelas sumbernya. Apalagi jika kita tidak berkata-kata sama sekali. Namun, berkata-kata dengan karya jauh lebih kuat pengaruhnya dibandingkan dengan berkata-kata namun tak ada hasilnya (Baca:omong kosong). Maka penulis mengajak kepada diri pribadi secara khusus dan kepada seluruh umat Islam secara umum untuk selalu mengedepankan sikap tabayun dalam memperoleh suatu informasi sebelum menyebarluaskannya. Supaya kita terhindar dari perbuatan memfitnah seseorang atau suatu kelompok tertentu yang malah merugikan umat Islam sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaidah Penulisan Arab Melayu

Biografi, Karya, dan Pemikiran Abdul Rauf Al-Singkili

Ringkasan novel Edensor