Ada Apa Antara Mulutku dan Mulutmu?
“ Kebaikan adalah
kebiasaan baik dan keburukan adalah kebiasaan buruk. Barang siapa yang Allah
menghendaki kebaikan padanya maka Allah akan memahamkan agama kepadanya.”
(HR. Ibnu Majah)
Mulut itu
laksana sebuah pedang tajam yang bermata dua. Dengan mulut kita dapat menuju ke
surga namun dengan mulut pula kita bisa terjerumus ke jurang neraka. Hal ini
sangat tergantung bagaimana cara kita mengolah dan mengelola mulut tersebut.
Dengan mulut
kita bisa berkata. Perkataan baik bisa menjadi kebiasaan bila selalu
diulang-ulang dengan perkataan kebaikan. Begitu pula dengan sebaliknya,
perkataan kita bisa menjadi kebiasaan yang buruk nan hina bila terus
diulang-ulang.
Dengan perkataan
saja tidaklah cukup untuk melakukan perubahan. Apalagi jika tidak berkata-kata
sama sekali. Berkata-kata dengan karya jauh lebih kuat pengaruhnya dibandingkan
berkarya dengan kata-kata namun tak ada hasilnya (Baca:omong kosong).
Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang-orang yang menyeru
ke jalan Allah, dan beramal saleh seraya mengatakan, “ Sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang berserah diri.”
(QS. Fushshilat (41) : 33)
Tugas dakwah
bukan merangkai kata-kata indah bak puisi yang muluk-muluk dengan susunan gaya
bahasa yang wah, memikat, bikin tercekat, menggoda bikin terlena. Bukan, bukan
seperti itu. Namun bagaimana sebuah pesan dapat diterima secara gamblang,
Benar, dan Jelas.
Namun, tidaklah
seseorang kehilangan perkataan yang benar kecuali apabila ia telah kehilangan
perbuatan yang benar. Sehebat apa pun ucapan seseorang kalau tidak terbukti
dalam kinerja dan karya akan sulit untuk diterima. Itulah reputasi yang berlaku
di medan dakwah. Barangkali pada awalnya diterima, namun akhirnya ketahuan juga
kebusukannya (Baca : dai penipu).
Rasulullah saja
sebelum diangkat oleh Allah menjadi seorang nabi dan rasul telah mengalami fase
tarbiyah murabbaniyah selama empat
puluh tahun di mana dalam fase ini beliau telah di beri gelar al-amin. Dengan
cara semacan inilah Allah mendidik Rasulullah supaya menjadi seorang pribadi
yang tak ada cela dalam ucapan dan perbuatannya. Kalaupun ada penolakan ketika
beliau berdakwah, itu bukan karena cela dan perangai buruk kepribadian pada
diri Nabi. Namun, karena tertutupnya hati orang Mekah pada waktu itu yang masih
dominan memiliki sifat iri, dengki, gengsi, serta kesombongan yang bertengger
di hati.
Akankah kalian
bisa menjawab sebuah pertanyaan yang tersurat dalam judul di atas?
Ada Apa Antara
Mulutku (Rasulullah) dan Mulutmu (Dai)?
(Wahid)
Komentar
Posting Komentar