Perjuangan Pendiri MTA dalam Menumpas Sisa-sisa Pemberontak PKI di Solo
30 September 1965.
Bangsa Indonesia digemparkan dengan kejadian pemberontakan yang dilakukan oleh simpatisan,
anggota, dan pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka melakukan makar
dengan membunuh para jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Tak hanya itu, di Solo para anggota PKI ini juga menyebarkan paham untuk tidak
percaya dengan adanya Tuhan kepada anak-anak Sekolah Dasar (SD). Hal ini
terungkap dalam sebuah tulisan di majalah Respon edisi September 1995.
Diceritakan, para
anggota PKI yang menyamar sebagai guru memerintahkan murid-murid di salah satu SD
di Solo untuk memejamkan mata sambil menengadahkan kedua telapak tangannya ke
atas seraya mengatakan, “Tuhan kami minta permen.” Setelah melaksanakan
perintah itu, ternyata tak ada satu permen di telapak tangan mereka. Kemudian,
anggota PKI ini memerintahkan murid-murid SD itu untuk kembali melakukan hal
serupa. Namun, kata Tuhan diubah menjadi Pak Guru. Maka terucaplah perkataan
“Pak Guru, kami minta permen.”
Pada saat itulah,
anggota PKI ini meletakkan permen di tangan murid-murid SD tersebut. Dengan
cara yang demikian, anggota PKI ini mampu meyakinkan kepada para murid-murid SD
bahwa Tuhan tidak ada. Sebab, Tuhan tidak dapat dimintai sesuatu walaupun hanya
sekadar permen.
Walau secara cepat
tentara bergerak menangkap pimpinan PKI, namun para anggota PKI yang berada di
akar rumput masih belum tertangkap. Mereka masih sering membuat teror dan melakukan
intimidasi terhadap umat Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya di Kota
Solo. Kemudian, dibentuklah sebuah organisasi pelajar, pemuda, dan mahasiswa
Islam untuk memerangi sisa-sisa G30S/PKI di Solo. Organisasi ini di mediasi
oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Solo dengan tujuan semata-mata untuk menghadapi
sisa-sisa pemberontak G30S/PKI. Organisasi tersebut bernama Koordinasi Kesatuan
Pemuda Islam (KKPI) Surakarta.
Pada masa-masa ini pula
Ustadz Abdullah mulai menyematkan kata Thufail Saputro di belakang nama
Abdullah. “Digunakan setelah pulang dari Bali karena di Solo namanya sering
diplesetkan menjadi Dollah Pethel (Dullah Kapak), panggilan yang sarat dengan
ejekan, kebencian, dan dendam dari kalangan eks-PKI,” kata putra Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro, Munir Ahmad, seperti yang di tulis oleh Mutohharun
Jinnan dalam disertasinya yang berjudul “Kepemimpinan Imaamah dalam Gerakan
Purifikasi Islam di Pedesaan.”
Pembentukan KKPI
dilakukan pada 8 Juli 1966 oleh 7 organisasi pelajar, pemuda, dan mahasiswa
Islam di Surakarta. Ketujuh organisasi pelajar, pemuda, dan mahasiswa Islam itu
adalah, (1) Gerakan Pemuda Anshor, (2) Pemuda Muhammadiyah, (3) Pemuda Muslimin
Indonesia, (4) Pemuda Al Irsyad, (5) Pemuda Al Islam, (6) Himpunan Mahasiswa
Islam, dan (7) Pelajar Islam Indonesia. Atas kesepakatan bersama, ditunjuklah
Ustadz Abdullah Thufail Saputro sebagai ketua dengan susunan pengurus KKPI
sebagai berikut:
Ketua :
Abdullah Thufail Saputro (Ibnu Walidihi)
Wakil ketua : Suwardi, B.A. (Ketua Pemuda Muhammadiyah Solo)
Wakil ketua : Abdul Mukti, B.A. (Ketua 1 Gerakan Pemuda Anshor
Solo)
Sekretaris : Subiyanto HR (Sekretaris HMI Cabang Solo)
Wakil sekretaris : Marhabat Faqih (Ketua Pemuda Muslimin Solo)
Wakil sekretaris : Achmad Mudzakir (Ketua 1 Pelajar Islam Indonesia Solo)
Bendahara : Sjakur
Wakil bendahara : Abdullah Baradja (Bendahara Pemuda Al Irsyad Solo)
Wakil bendahara : H. Mathori
Humas :
Umar Irsyadi (Ketua Pemuda Al Islam Solo)
Abdul
Mannan, Bc. Hk.
Umar
Ghiffari, S.H.
Suwardi B.A.
Abdul Mukti,
B.A.
Asjror
Mucharrom
Subiyanto
HR.
“Ustadz Abdullah
Thufail Saputro dipilih dan diangkat sebagai ketua (koordinator) karena
dinilai: netral, artinya tidak menjadi anggota masa yang tergabung dalam KKPI,”
tulis Pitoyo pada tahun 1989 dalam skripsinya yang berjudul “Koordinasi
Kesatuan Pemuda Islam (KKPI) Surakarta 1966-1967.”
Dengan demikian, jauh
sebelum mendirikan lembaga dakwah MTA, pada tahun 1966 Ustadz Abdullah Thufail
Saputro telah tampil dihadapan publik umat Islam Solo. Beliau tampil sebagai
pemimpin organisasi perkumpulan pelajar, pemuda, mahasiswa Islam yang bertujuan
untuk menumpas sisa-sisa G30S/PKI di Solo. Selain itu, ia juga dikenal sebagai
mubaligh muda yang aktif membantu organisasi pemuda, pelajar, dan mahasiswa
Islam di Kota Solo sejak tahun 1960-an.
“Karir aktivisnya
(Ustadz Abdullah Thufail Saputro) menonjol ketika meletus pemberontakan
G30S/PKI tahun 1965,” kata salah seorang murid Al Ustadz Abdullah Thufail
Saputro, Dahlan Harjotaruno, di dalam disertasi yang berjudul “Kepemimpinan
Imaamah dalam Gerakan Purifikasi Islam di Pedesaan.”
Ustadz Abdullah Thufail
Saputro bersama para anggota delegasi KKPI yang mewakili umat Islam Solo sempat
membuat dan mengirim ”Buku Putih” kepada Jenderal Soeharto, selaku pemegang
mandat MPR. Sebagai upaya mempermudah delegasi KKPI bertemu dengan pejabat
pemerintah pusat, maka pada 13 Februari 1967 organisasi Pemuda Anshor Cabang
Kota Solo memberikan surat mandat kepada Abdullah Thufail Saputro sebagai ketua
delegasi KKPI Surakarta.
“Pernah timbul anggapan
bahwa Ustadz Abdullah adalah orang NU. Gara-garanya adalah Ustadz Abdullah
mendapat mandat dari NU untuk menyerahkan Buku Putih kepada Jenderal Soeharto,”
ungkap Prof. Drs. Mugijatna, M.Si., Ph.D.
Rombongan delegasi KKPI
yang akan menyampaikan Buku Putih kepada Jenderal Soeharto dan para menteri
kabinet Ampera tiba di Jakarta pada 20 Februari 1967. Kedatangan delegasi KKPI yang
dipimpin oleh Abdullah Thufail Saputro ini kali pertama disambut oleh Menteri
Utama, Adam Malik.
Pada kesempatan ini,
Menteri Adam Malik menegaskan bahwa pemerintah pusat tidak akan kompromi dengan
Bung Karno. Menurutnya, MPRS akan tetap mengadakan sidang istimewa walaupun
Bung Karno bersikukuh tidak mau meletakkan jabatan atau lari keluar negeri.
“Buku Putih” yang diberikan
kepada Jenderal Soeharto dan para Menteri ini terdiri dari 50 halaman folio.
Buku ini memuat suatu analisa dan fakta-fakta secara kronologis sejak Juli 1966
sampai kejadian teror pada hari kebangkitan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar
Indonesia (KAPPI) pada 9 Pebruari 1967.
“Diterima Kostrad dan
RPKAD. Diterangkan bahwa delegasi telah diterima oleh Kol. Rustamadji jang
mewakili Panglima Kostrad Letdjen Umar Wirahadikusuma hari Kemis dan di
Tjijantung menghadap RPKAD,” tulis koran MERDEKA dengan judul berita “Teror PNI/ASU
Solo Dilaporkan, Tidak Ada Kompromi dengan Bung Karno”.
Perlu diketahui, pada
saat itu Ustadz Abdullah Thufail Saputro menggunakan nama samaran Ibnu
Walidihi. Hal ini disebabkan pada saat itu memang merupakan saat-saat yang
memerlukan kesiap-siagaan dan kecepatan penyampaian informasi bagi
organisasi-organisasi kesatuan aksi dalam menghadapi teror dan intimidasi.
Maka, pada saat itu Ustadz Abdullah Thufail Saputro memakai nama samaran Ibnu
Walidihi sebagai ketua KKPI saat mengisi pengajian-pengajian di Kota Solo dan
sekitarnya.
“Memang perlu (nama
samaran), dalam rangka keamanan dan kepentingan penyamaran lainnya,” kata H.
Suwardi, B.A, ketua Pemuda Muhammadiyah periode 1966-1968 seperti yang di tulis
oleh Pitoyo dalam skripsinya yang berjudul “Koordinasi Kesatuan Pemuda Islam
(KKPI) Surakarta 1966-1967.”
*****
Komentar
Posting Komentar