Refleksi 44 Tahun Perjalanan Dakwah Majlis Tafsir Al Qur'an (MTA)
Yayasan
Majlis Tafsir Al Qur’an atau lebih terkenal dengan akronim MTA merupakan sebuah
lembaga dakwah Islam yang berpusat di kota Solo, Jawa Tengah. Lembaga dakwah
ini didirikan oleh seorang mubaligh berdarah Pakistan yang bernama Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro. Sejarah
mencatat dua peristiwa penting terjadi bulan September. Suatu peristiwa yang
sangat bertolak belakang. Pada 30 September 1965 terjadi peristiwa berdarah
G30S/PKI yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi yang tidak mengakui
adanya Tuhan (atheis). Tujuh tahun berselang, pada 19 September 1972
Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro mendirikan MTA untuk mengajak masyarakat
mengenal Tuhannya. Sebuah perjuangan untuk mendobrak atheisme baik yang
terselubung maupun yang terang-terangan.
Jauh
sebelum mendirikan MTA, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro pada tahun 1966
telah tampil dihadapan publik umat Islam Solo untuk menumpas sisa-sisa
pemberontakan G30S/PKI dengan menjadi ketua Koordinasi Kesatuan Pemuda Islam
(KKPI) Surakarta.
Pada
waktu itu, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro bersama para anggota delegasi
KKPI yang mewakili umat Islam Solo sempat membuat dan mengirim ”Buku Putih”
kepada Jenderal Soeharto, selaku pemegang mandat MPR. Sebagai upaya mempermudah
delegasi KKPI bertemu dengan pejabat pemerintah pusat, maka pada 13 Februari
1967 organisasi Pemuda Anshor Cabang Kota Solo memberikan surat mandat kepada
Abdullah Thufail Saputro sebagai ketua delegasi KKPI Surakarta.
“Pernah timbul
anggapan bahwa Ustadz Abdullah adalah orang NU. Gara-garanya adalah Ustadz
Abdullah mendapat mandat dari NU untuk menyerahkan Buku Putih kepada Jenderal
Soeharto,” ungkap Prof. Drs. Mugijatna, M.Si., Ph.D.
Al
Ustadz Abdullah Thufail Saputro yang berprofesi
sebagai pedagang batu permata, berkesempatan untuk
keliling Indonesia, kecuali Papua. Berkat profesinya
ini Beliau mampu melihat secara langsung kondisi
umat Islam Indonesia yang kurang memahami Al Qur’an. Selain itu, Beliau
juga merasa prihatin tatkala menjumpai perpecahan antar umat Islam dan maraknya
praktik keagamaan yang menyimpang dari syariat Islam.
Berdasarkan
permasalahan semacam itu, muncullah ide dalam
benak Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro untuk
membentuk suatu
lembaga dakwah Islam yang diharapkan mampu
menggalakkan dakwah guna membebaskan umat Islam dari sikap
sinkretisme. Serta menyeru umat Islam untuk kembali kepada Al Qur’an dan As
Sunnah.
Ide Al Ustadz Abdullah Thufail
Saputro untuk pertama kalinya disampaikan kepada khalayak umum di sebuah
pertemuan ulama se-Solo Raya di gedung Umat Islam Kartopuran, Solo. Organisasi Islam yang
hadir pada waktu itu antara lain Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, PSII, dan
Al-Irsyad. Hanya saja, Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro pada waktu itu tidak berafiliasi pada salah satu
organisasi Islam yang telah ada dan ia juga tidak mempunyai organisasi Islam
untuk menjalankan roda dakwah.
Sayangnya, ide yang
dikemukakan oleh Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro itu berakhir sebagai sebuah impian belaka. Hal tersebut
diketahui setelah para ulama dan pimpinan organisasi Islam se Solo Raya
melakukan pertemuan sebanyak tiga kali. Peserta pertemuan ini tidak menyetujui
adanya penyatuan organisasi
Islam untuk melebur menjadi
satu bentuk lembaga dakwah. Sedangkan untuk menjawab permasalahan umat Islam
yang dikemukakan oleh Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro itu dikembalikan kepada masing-masing organisasi Islam
untuk membina umat Islam.
“Pertemuan
berlangsung tiga kali dan dipimpin langsung oleh Abdullah Thufail Saputro. Pada
pertemuan yang terakhir menghasilkan suatu kesepakatan bahwa ide yang
dikemukakannya tidak dapat diterima,” ungkap Dahlan Harjotaruno dalam disertasi
“Kepemimpinan Imaamah dalam Gerakan Purifikasi Islam di Pedesaan.”
Tidak
disepakatinya ide Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro tersebut tidak menyurutkan semanggat juangnya untuk
mendirikan sebuah lembaga dakwah Islam yang mengajak umat Islam untuk kembali
kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Dengan semangat juang, kebulatan tekad dan
penuh keikhlasan, Ustadz Abdullah Thufail Saputro mendirikan pengajian tafsir
dengan cara membentuk panitia bayangan yang terdiri dari:
Ketua: Al Ustadz Abdullah Thufail
Saputro
Sekretaris: M. Ihsan
Bendahara: Ahmad Sungkar.
Diawali oleh
tujuh orang peserta, dibukalah pengajian angkatan pertama dengan sebutan
pengajian gelombang pertama pada Senin, 19 September 1972 di ruang tamu rumah
kakak kandung Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro. “Di tempat ini dulu pertama
kali buat pengajian Tafsir Al Qur’an mas,” kata Siti Khadijah, kakak kandung Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro, saat
dijumpai dikediamannya yang berada persis
di sebelah kantor pusat MTA, jalan Serayu no. 12, Pasarkliwon, Solo.
Pada awal
kepemimpinannya di MTA, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro memberikan
pendidikan yang tegas kepada murid-muridnya. Model pengajian di MTA sejak awal
memang di desain berjalan intensif tiap pekan. Pengajian intensif satu pekan
sekali ini disebut dengan istilah gelombang.
Istilah
gelombang memiliki makna bahwa gelombang laut itu tidak pernah berhenti, tidak
pernah merasa lelah dan jenuh meskipun setiap saat harus berbenturan dengan
kerasnya batu karang. Demikian pula dengan
mengikuti pengajian Tafsir Al Qur’an di MTA. Tidak boleh mudah menyerah dalam
mengamalkan hasil pengajian meskipun banyak ujian yang dihadapi.
Menurut pengawal pribadi Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro, Bariyanto,
Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro tak segan-segan untuk membubarkan pengajian
gelombang bila diketahuinya ada peserta pengajian gelombang yang malas, dan
mudah untuk membolos. Setelah
membubarkan pengajian, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro akan mengumumkan
kepada khalayak umum tentang pembentukan pengajian gelombang baru.
“Dengan sistem
pengajian gelombang, akan tersisih (sendiri) peserta yang tidak bermutu,” jelas
Pak Barri yang hampir tiap malam memijat Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro.
Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro sangat bersungguh-sungguh dalam merintis MTA. Banyak
waktu yang Beliau korbankan untuk membangun lembaga dakwah ini. Hampir seluruh kegiatan
pengajian MTA dipimpin sendiri dengan gigih dan tidak kenal lelah oleh Al
Ustadz Abdullah Thufail Saputro. Hal ini Beliau lakukan untuk menjaga
soliditas, persatuan dan persaudaraan seluruh warga pengajian MTA.
“Ia pula menjadi
guru tunggal memberikan bimbingan kepada warga MTA di pengajian gelombang di
kantor Pusat Semanggi. Pengetahuan dan keluasan wawasan dari pengalaman
berdagang menjadikan wibawanya semakin kokoh dan menjadi pusat seluruh
penyelesaian persoalan yang dihadapi oleh warganya,” kata putra Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro, Munir Ahmad
kepada Mutohharun Jinnan seperti yang dikutip
dalam disertasi “Kepemimpinan Imaamah dalam Gerakan Purifikasi Islam di
Pedesaan.”.
Lebih lanjut
Munir Ahmad menuturkan, “Dalam berbagai kesempatan (Al Ustadz) Abdullah Thufail
Saputro sering menyampaikan kepada keluarga akan memimpin MTA selama 20 tahun,
setelah itu MTA akan dipimpin oleh orang lain entah siapa. Tidak ada pewarisan
kepemimpinan dari pendiri kepada generasi berikutnya,” seperti yang dikutip
dalam disertasi “Kepemimpinan Imaamah dalam Gerakan Purifikasi Islam di
Pedesaan.”
Selang tiga
bulan berikutnya, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro dengan penuh percaya diri
mengumumkan pembukaan pengajian Tafsir Al Qur’an gelombang kedua melalui radio
amatir di Kota Solo seperti radio ABC dan RRI Surakarta. Dengan adanya
pengumuman pembukaan pengajian Tafsir Al Qur’an lewat radio tersebut, banyak
umat Islam yang mendaftarkan diri.
Pelan namun
pasti, ruang tamu rumah kakak kandung Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro tak
muat lagi untuk menampung peserta pengajian Tafsir Al Qur’an. Hal ini karena
jamaah yang hadir semakin banyak jumlahnya. Kemudian pengajian berpindah ke
Masjid Marwah yang berada tak jauh dari kediaman Siti Khadijah.
Karena saking
banyaknya, pengajian gelombang kedua ini dikelompokkan menjadi tiga bagian.
Masing-masing kelompok masuk pagi, sore, dan malam hari. Sedangkan untuk
peresmian pengajian gelombang kedua ini dilaksanakan pada hari Ahad, 16
Desember 1972, dihadiri oleh sejumlah ulama tokoh fungsionaris Islam Surakarta
dan masyarakat sekitar.
Tak berlangsung
lama, Masjid Marwah pun tak mampu menampung melubernya jemaah pengajian Tafsir
Al Qur’an yang kian membeludak. Kemudian dibelilah sebidang tanah di samping
rumah Siti Khadijah untuk dibangun gedung pengajian yang hingga saat ini masih
digunakan sebagai kantor pusat MTA yaitu di Jalan Serayu Nomor 12, Semanggi,
Pasarkliwon, Solo.
"Ia datang
ke saya untuk pinjam uang. Katanya kepingin nyari tempat untuk membuat
pengajian. Nyari dapat itu. Sesudah itu dia mulai aktif di pengajian. Terus
berkembang,” cerita Habib Nuh, salah seorang tetangga Al Ustadz Abdullah Thufail
Saputro.
Melihat peminat
pengajian semakin banyak, beliau berpikir untuk segera memiliki gedung
pengajian sendiri. Akhirnya beliau membangun gedung pengajian yang dibantu oleh
Ibu Hajah Nuriyah Shabran dan beserta keluarganya yang lain.
“Gedung
pengajian itu selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 23 Januari 1974 oleh
Dandim Surakarta 0735, Letkol Sugiarto, serta dihadiri para ulama dan pimpinan
organisasi Islam Solo Raya,” tulis sekretariat MTA dalam buku “Mengenal Yayasan
Majlis Tafsir Al Qur’an.”
Kemudian
dibukalah pengajian Tafsir Al Qur’an gelombang tiga. Sedangkan gelombang
keempat di buka setelah gedung baru selesai di bangun. Gelombang keempat ini
bertempat di Sekolah Dasar Muhammadiyah Kebonan, yang berada di dekat stadion Sriwedari.
Pada gelombang inilah (Al) Ustadz Ahmad Sukina (sekarang Dewan Pembina MTA)
menjadi murid gelombang empat Kebonan ini.
“Keempat
gelombang pengajian ini secara bergantian ditangani langsung oleh Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro,” jelas pimpinan Pusat MTA, Prof. Drs. Mugijatna,
M.Si., Ph.D.
Kegiatan
pengajian Tafsir Al Qur’an yang
diasuh oleh Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro ini semakin
banyak diikuti oleh umat Islam dan dilaksanakan di beberapa tempat. Kemudian
muncullah ide untuk melegalkan kelompok pengajian Tafsir Al Qur’an ini agar
semua kegiatan yang diadakan dapat bersifat legal dan mampu diterima oleh semua
elemen masyarakat.
Oleh sebab itu,
dua (2) tahun kemudian kelompok pengajian Tafsir Al Qur’an ini didaftarkan ke
Departemen Sosial dengan nama Majlis Tafsir Al Qur’an. Al Ustadz Abdullah
Thufail Saputro pun mencatatkan dirinya sebagai pendiri Majlis Tafsir Al
Qur’an. Pada waktu itu, badan hukum yang dipakai oleh Majlis Tafsir Al Qur’an
berupa yayasan dengan akta notaris R. Soegondo Notosoerjo, No. 23, tertanggal
23 Januari 1974.
Sejatinya,
kelompok pengajian Tafsir Al Qur’an yang diasuh oleh Al Ustadz Abdullah Thufail
Saputro ini tidak ingin memiliki nama resmi. Alasannya adalah untuk menghindari
kesan negatif bahwa umat Islam terpecah dalam firqah, ashabiyah, dan fanatisme
golongan hanya karena memiliki nama sendiri-sendiri.
“Tetapi dalam
perkembangannya ada tuntutan administratif dan demi mematuhi undang-undang
negara yang berlaku di Indonesia yang mana sebuah perkumpulan harus memilih
yayasan atau organisasi massa dengan nama yang definitif, maka dipilihlah nama
Majlis Tafsir Al-Quran, yang secara resmi berdiri pada tanggal 19 September
1972 meskipun belum dicatatkan di kantor notaris,” tutur salah seorang Pimpinan
Pusat MTA, Drs. Medi, di dalam disertasi yang berjudul “Kepemimpinan Imaamah
dalam Gerakan Purifikasi Islam di Pedesaan.”
“Adapun susunan
pengurusnya meliputi: Ketua (Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro), Wakil Ketua
(Ir. Sumarno), Sekretaris I (Wahidin Jabari), Sekretaris II (Junaedi Husein),
Bendahara I (Nyonya Sumarno), Bendahara II (Umi Salamah), Pembantu Umum (Nyonya
Suprapti, Yahya Saputro, dan Hidar Muharim),” tulis sekretariat MTA dalam buku
“Mengenal Yayasan Majlis Tafsir Al Qur’an.”
Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro memilih kata ”Majlis” untuk mengawali nama lembaga
dakwah yang baru Beliau dirikan. Hal ini karena peserta pengajian Tafsir Al
Qur’an yang diasuh oleh Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro selalu duduknya
melingkar dan menyimak paparan dari sang Ustadz.
Kata “Majlis”
sendiri berasal dari bahasa Arab, jalasa,
yang artinya duduk. Sedangkan kata Tafsir Al Qur’an digunakan sebagai penanda
bahwa majlis mengkaji tafsir-tafsir Al Qur’an yang telah ada. Bukan sebagai
majlis yang menafsirkan Al Qur’an
kembali.
“Majlis yang
dimaksudkan di sini adalah suatu tempat berkumpul beberapa orang untuk
berbincang-bincang tentang berbagai masalah seperti pengajian, diskusi, belajar
bersama, usrah, rapat, dan lain-lain baik yang bersifat resmi atau tidak,”
tulis Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro dalam tulisan yang berjudul “Adabul Majalis.”
Pada saat ini,
nama yayasan Majlis Tafsir Al Qur’an lebih populer disebut dengan singkatan
MTA. Penyebutan dengan singkatan MTA untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh
aparat keamanan.
“(ABRI) yang
merasa sulit menyebut lengkap nama yayasan ini pada saat memintai keterangan
dari pimpinan. Sementara warga MTA sendiri lebih memilih sebutan ”majlis” dalam
percakapan sehari-hari,” kata Dahlan Harjotaruno dalam disertasi “Kepemimpinan
Imaamah dalam Gerakan Purifikasi Islam di Pedesaan” yang di tulis oleh
Mutohharun Jinnan.
MTA memiliki
lambang berupa gambar kitab Al Qur’an yang di atasnya terdapat kutipan QS. Al
Isra’ [17] ayat 9, Sesungguhnya Al Qur'an
ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus. Sedangkan dibagian
bawah terdapat kutipan QS. Al Hadid [57] ayat
16, Belumkah datang waktunya bagi
orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada
kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?.
Lambang tersebut
memiliki makna:
1. Gambar kitab Al Qur’an memiliki arti
bahwa Al Qur’an sebagai kitab suci berisi firman Alla SWT untuk dijadikan
sebagai pedoman hidup umat manusia.
2. QS Al Israa’ ayat 9 memiliki arti,
“Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih
lurus.” Makna dari ayat ini adalah Al Qur’an yang diwahyukan Allah SWT kepada
Nabi Muhammad SAW harus digunakan oleh umat Islam sebagai petunjuk menuju jalan
yang lurus. Selain itu, Al Qur’an juga menjadi sumber rujukan bagi kehidupan
manusia agar terhindar dari perbuatan yang menyimpang.
3. QS. Al Hadiid ayat 16 memiliki arti,
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati
mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?.”
Makna dari kalam Allah SWT ini merupakan suatu teguran bagi orang-orang yang
beriman agar mereka selalu mengingat Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa.
Ayat ini juga menyeru kepada umat Islam untuk mempercayai kebenaran ayat-ayat
Al Qur’an yang tidak ada keraguan di dalamnya.
Pendiri
sekaligus ketua umum Yayasan Majlis Tafsir Al Qur’an (MTA) Solo, Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro, di awal kepemimpinannya telah berhasil mendirikan
Rumah Bersalin (RB) MTA pada tahun 1974. RB MTA ini lokasinya bersebelahan
dengan kantor Pusat MTA yang beralamat lengkap jalan Cilosari, Semanggi
02/XIII, Pasarkliwon Solo.
Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro saat itu merasa prihatin dengan minimnya sarana
kesehatan di daerah Semanggi, Pasarkliwon, Solo. Kemudian MTA mendirikan RB MTA
dengan tujuan semata-mata untuk kegiatan sosial kepada masyarakat umum.
“Pembukaan itu
(RB MTA) ditandai dengan acara khitanan massal,” kata Fathurrahman yang
merupakan murid Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro di gelombang pertama MTA
Pusat.
Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro pada saat memimpin MTA juga membuat media dakwah
berupa majalah yang terbit tiap bulan. Majalah itu diberi nama majalah Respon. Di dalam sebuah artikel berjudul
“Respon Memasuki Tahun ke 6” yang dimuat pada Majalah Respon edisi bulan
Februari 1993 menjelaskan, majalah Respon awalnya dirintis oleh Prof. Drs.
Mugijatna, M.Si., Ph.D atau biasa disapa dengan sebutan Ustadz Yoyok.
Tepatnya pada
tahun 1974, Ustadz Yoyok membuat majalah dinding (mading) yang diberi nama Al
Indar. Ustadz Yoyok bersama Nugroho Slamet dan Sarni Hajar membuat mading Al
Indar terbit sekali dalam sepekan. Pelan-pelan mading Al Indar pada Desember
1974 berevolusi menjadi majalah yang diberi nama Respons. Majalah Respons ini
mampu terbit tiap sebulan sekali menggunakan kertas buram yang di cetak dengan
mesin stensil. Namun sayang, setelah mampu terbit sebulan sekali dalam rentang
waktu 3 tahun akhirnya majalah Respons ini tumbang.
Pada bulan
Desember 1977 majalah Respons terbit untuk terakhir kalinya. Hal ini lantaran
Ustadz Yoyok melepas jabatan sebagai pemimpin majalah Respons karena Beliau
mulai Januari 1978 sedang menempuh studi di Fakultas Sastra UNS. Praktis,
majalah Respons tidak bisa menyapa pembacanya sebab Ustadz Yoyok sudah tak
mampu lagi mengelola majalah Respons.
“Majalah Respon
itu awalnya yang merintis saya,” cerita Guru Besar Bidang Ilmu Kajian Budaya
dengan Fokus Sastra di Universitas Sebelas Maret Solo yang menjelaskan, mading
Al Indar dan majalah Respons merupakan embrio dari lahirnya Majalah Respon
(tanpa S) yang dikeluarkan oleh MTA.
Pada Maret 1984,
majalah Respon (tanpa s) sempat hadir kembali di tengah-tengah warga MTA. Namun
sayang, kembali terbitnya majalah Respon tidak berlangsung lama. Berdasarkan
surat dari Departemen Penerangan (Deppen) Kodya Solo, majalah Respon untuk
kesekian kalinya dilarang terbit.
Sejarah
mencatat, pada 6 Januari 1988 ada 33 sarjana dari berbagai disiplin ilmu yang
mengaji di MTA mengadakan tatap muka dengan Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro.
Fokus utama yang dibahas pada pertemuan di aula MTA Pusat itu adalah bagaimana
kiprah para sarjana untuk memberikan informasi kepada warga MTA. Berbagai
usulan sempat dikemukakan soal bagaimana teknik memberikan penyuluhan kepada
warga MTA yang tinggal di desa-desa.
Setelah menerima
berbagai usulan, akhirnya Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro yang memimpin
jalannya pertemuan memerintahkan agar majalah Respon diterbitkan kembali. Hal
ini dimaksudkan sebagai media atau sarana untuk memberikan penyuluhan kepada
keluarga besar MTA. Maka, sejak Februari 1988 majalah Respon kembali terbit di
tengah-tengah warga MTA hingga akhirnya majalah ini kembali tumbang di awal
tahun 2014.
“Bertitik tolak
dari perintah Al Ustadz Abdullah Thufail (Saputro) sebagai pimpinan umum dan
pendiri yayasan Majlis Tafsir Al Qur’an itulah sarjana yang mengaji di MTA ini
merintis terbitnya kembali majalah Respon. Sejak saat itulah Drs. Sugiman
ditunjuk untuk menjadi pemimpin redaksi menggantikan Drs. Yoyok Mugijatna dan
Drs. Rochmadi diberi tugas sebagai sekretaris redaksi,” tulis redaksi majalah
Respon.
Selain
mendirikan RB MTA dan Majalah Respon, campaian lain yang telah ditorehkan oleh
Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro saat memimpin MTA adalah mendirikan sekolah
formal. Di dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Yayasan MTA pada
pasal 3 disebutkan bahwa untuk mencapai tujuannya, Yayasan MTA berusaha
menyelenggarakan pendidikan formal dan non formal.
Lembaga
pendidikan formal yang didirikan oleh Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro adalah
Sekolah Menengah Atas (SMA) MTA Solo. Beliau berharap dengan didirikannya SMA
MTA Solo, umat Islam mempunyai generasi Islam penerus yang memiliki akhlaq
mulia. Selain itu, lulusan SMA MTA Solo juga diharapkan mempunyai kemampuan
daya saing unggul yang mampu memenangkan segala bentuk tantangan dan persaingan
yang terus berkembang
dalam kehidupan masyarakat.
“Berangkat dari
konsep kehidupan tersebut,
mendorong Al-Ustadz K.H Abdullah Thufail
Saputro (Alm) selaku
ketua umum Yayasan Majlis
Tafsir Al Qur'an
Pusat pertama pada
tanggal 2 Desember
1986 mengajukan permohonan ijin
pendirian SMA MTA Surakarta,” dikutip dari artikel “Pendidikan Berdaya
Saing Tinggi” pada majalah Al Mar’ah Edisi Mei 2012.
Tepat pada
tanggal 5 Mei 1987 SMA MTA Solo berdiri dengan turunnya Surat Keputusan (SK)
No. 662/I.03/I.87 yang ditandatangani oleh kepala kantor wilayah Dekdikbud
Propinsi Jawa Tengah, Drs. Poeger. Oleh karena itu, pada tahun pelajaran
1987/1988 SMA MTA Solo sudah menerima siswa baru untuk angkatan pertama.
Sejak awal
pendirian SMA MTA Solo, yayasan MTA sama sekali tidak mengharapkan keuntungan
dari segi materi maupun finansial. Yayasan MTA sebagai pihak pengelola hanya
mengharapkan lulusan dari SMA MTA Solo memiliki karakter Islam kuat dengan
landasan agama yang benar. Selain itu, SMA MTA Solo juga diharapkan mampu
memberikan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didiknya sehingga
mereka mampu bersaing dalam percaturan global dewasa ini.
Siswa-siswi SMA
MTA Solo sejak angkatan pertama memang berasal dari berbagai daerah di luar
Kota Solo. Secara umum, anak didik SMA MTA Solo merupakan putra dari peserta
pengajian MTA yang tersebar di berbagai daerah, termasuk di luar Jawa. Maka, di
SMA MTA Solo ada asrama yang dipergunakan untuk tempat tinggal siswa-siswi yang
berasal dari luar Kota Solo.
Berkat daya
dukung yang kuat dari warga pengajian MTA dalam pengembangan sekolah, kini SMA
MTA Solo telah memiliki gedung tiga lantai untuk aktivitas sekolah yang
terletak di pinggir jalan Kyai Mojo. Sebelumnya, SMA MTA Solo pernah menempati
bangunan yang berada di dekat kantor pusat MTA, saat ini tempat itu dijadikan
sebagai Klinik Pratama MTA. Tak berlangsung lama, kemudian aktivitas SMA MTA
Solo berpindah lokasi di dekat tanggul, sekitar kurang lebih satu KM ke arah
timur dari tempat semula. Tempat tersebut saat ini telah beralih fungsi menjadi
asrama putri SMA MTA Solo.
“Sejak tahun
1999 pindah ke Jl. Kyai Mojo ini. Dulu masih bangunan di belakang ini. Nah,
kini kita terus membangun untuk juga menunjang fasilitas belajar mengajar,”
ujar Diastono, Kepala SMA MTA Solo, seperti yang dikutip dari artikel “Usaha
Penunjang Dakwah” pada majalah Isra’ edisi Februari 2012.
SMA MTA Solo
bisa disebut sebagai sekolah favorit unggulan. Mengingat saat ini, tak kurang
dari 800-an siswa dan siswi menuntut ilmu di tempat tersebut. Untuk menjaga
kualitas peserta didik, SMA MTA Solo menyediakan asrama yang saat ini ditempati
oleh kurang lebih 700 siswa.
“Sekolah
Menengah Atas (SMA) MTA Surakarta telah mendapatkan akreditasi A. Dengan
fasilitas asrama yang dimilikinya, SMA MTA berstatus Islamic Boarding School
berdasarkan SK Yayasan No. 03.002/SK/VI/2008 tanggal 20 Juni 2008 tentang
Penetapan Islamic Boarding School (IBS) di lingkungan pendidikan MTA,” di kutip
dari Sejarah Singkat SMA MTA Solo yang terdapat pada laman http://www.smamta-ska.sch.id/index.php/welcome/profil/12
***
Pada
beberapa kesempatan Al Ustadz Abdullah
Thufail Saputro kerap menyatakan akan memimpin MTA
selama dua puluh tahun. Nampaknya Allah SWT memperkenankan keinginan Beliau untuk memimpin
MTA selama 20 tahun. Terbukti beliau memimpin MTA 20 tahun kurang 4 hari.
Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro meninggal dunia di
RS Kasih Ibu pada Selasa, 15 September 1992. Pada hari yang sama, jenazah
pendiri MTA ini dikebumikan di pemakaman umum Tipes, Solo pada sore harinya.
Ribuan umat Islam di Kota Solo turut berkabung atas peristiwa tersebut.
"Ketika Al
Ustadz menngatakan akan memimpin MTA selama 20 tahun kepada dr. Arif dan saya,
saya mengatakan “Untuk tahap pertama”. Namun beliau tidak memberi komentar
apa-apa, hanya tersenyum," ujar Ustadz Drs. H. Ahmad Sukina seperti yang
dikutip dari Majalah Respon edisi Bulan September 1992.
Pada kesempatan
terakhir memberikan ceramah di pengajian Ahad Pagi, Al Ustadz Abdullah
Thufail Saputro memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya kepada peserta
pengajian untuk menanyakan segala sesuatu yang belum jelas. Bahkan, pada
kesempatan tersebut, para peserta pengajian yang mengantuk diperintahkan untuk
cuci muka agar mampu menerima pelajaran.
“Pada hari-hari
terakhir beliau sempat berpesan kepada Kak Munir Ahmad, puteranya yang keempat.
"Kuatkan perjuangan demi Islam. Walaupun ayahmu tidak menunggui. Santuni
orang lemah. Gunakan akal, jangan perasaan, namun jangan karena akal iman
menjadi hancur. Hormati pimpinan,"” seperti yang dikutip dari artikel
berjudul “Mengenang 20 Tahun Al Ustadz” pada Majalah Respon edisi Bulan
September 1992.
Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro memang dikenal luas sebagai sosok pejuang yang gigih.
Semasa memimpin MTA, Beliau sempat dua kali keluar rumah sakit tanpa ijin saat
dirawat di RS Kasih Ibu. Pada saat itu beliau keluar rumah sakit untuk mengisi
pengajian Ahad Pagi di Kemlayan, Serengan, Solo dan pada pengajian Khususi
Ibu-ibu, Senin Malam di aula MTA Pusat Semanggi, Pasar Kliwon, Solo.
Kendati sedang
dalam kondisi sakit, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro pantang menyerah pada
penyakit yang sedang dideritanya. Beliau tetap tegar menghadapi sakit supaya
dapat tetap berjuang fi sabilillah
mengajar di MTA. “Kewajiban saya itu mengajar kok saya diopname, keluar dari
opname,” jelas Fathurahman yang merupakan menantu Ibu Siti Kadhijah.
Semangat Al
Ustadz Abdullah Thufail Saputro dalam mensyiarkan Islam sangat terlihat
menjelang kematiannya. Walaupun dalam kondisi sakit, Al Ustadz Abdullah Thufail
Saputro tetap mengisi pengajian Khususi Ibu-ibu pada malam selasa dan menerima
tamu yang berkonsultasi.
“Malam masih
mengisi (pengajian) Khususi putri di kantor pusat (MTA),” kata Bariyanto,
pengawal pribadi Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro saat dijumpai di tempat
kerjanya. Demi meyakinkan pernyataannya, lalu Bariyanto menanyakan perihal
tersebut kepada sang istri yang pada waktu itu menjadi peserta pengajian
Khususi Ibu-ibu.
Salah seorang
murid Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro yang setia setiap saat menyertainya
sempat bercerita. Menurutnya, sebelum Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro
meninggal dunia, Beliau telah menyiapkan brosur untuk Gelombang VII. Sejatinya,
brosur setebal tujuh halaman yang berjudul
“Mengingat Mati” itu akan disampaikan pada Kamis (17/09) sore. "Al
Ustadz sudah mempersiapkan brosur untuk gelombang VII dengan judul mengingat
mati," kata Ustadz Drs. H. Ahmad Sukina, sebagaimana yang dikutip dari
artikel “Mengenang 20 Tahun Perjuangan Al Ustadz” pada majalah Respon Edisi
September 1992.
Hingga akhirnya
pada Selasa (15/06/1993) dini hari sekitar pukul 03.30 dada Beliau terasa
sesak. Oleh dr. Arif Suryawan Beliau dilarikan ke RS Kasih Ibu untuk mendapat
perawatan intensif. “Al Ustadz K.H. Abdullah Thufail Saputro, pendiri dan ketua
umum yayasan MTA telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya dalam waktu itu cepat
dilantai IV RS Kasih Ibu pada Selasa (15/09) sekitar pukul 07.40,” dikutip dari
artikel berjudul “Mengenang 20 Tahun Al Ustadz” pada Majalah Respon edisi Bulan
September 1992.
Gubernur Jawa
Tengah HM Ismail, Walikota Solo HR Hartomo dan segenap tokoh serta umat Islam
menyampaikan bela sungkawa atas meninggalnya ulama berusia 65 tahun tersebut.
Selain itu, ribuan umat Islam dari berbagai kalangan turut hadir melayat.
Meskipun
dihadiri oleh ribuan pelayat, prosesi pemakaman dilakukan dengan sangat sederhana
tanpa upacara dan sambutan dari tokoh masyarakat maupun pejabat pemerintah.
Satu-satunya sambutan disampaikan oleh Ustadz Drs. Ahmad Sukina yang baru saja
terpilih sebagai ketua umum MTA menggantikan almarhum Al Ustadz Abdullah
Thufail Saputro. Di dalam sambutannya, Ustadz Drs. Ahmad Sukina mengungkapkan
rasa terima kasih atas kehadiran para pelayat.
Ustadz Drs.
Ahmad Sukina pada hari itu disepakati oleh para pengurus MTA Pusat dan
ketua-ketua MTA di tingkat Kabupaten atau perwakilan untuk menggantikan almarhum
Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro sebagai ketua umum MTA. “Alasan dipilihnya
(Ustadz) Ahmad Sukina adalah karena kedekatan dan ketulusan dalam mengabdikan
diri kepada imam sebelumnya,” tulis Mutohharun Jinnan dalam disertasinya yang
bersumber dari Munir Ahmad, putra Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro.
Pengukuhan
Ustadz Drs. Ahmad Sukina sebagai ketua umum MTA dilaksanakan pada Rabu, 16
September 1992. Pengukuhan ini disaksikan langsung oleh keluarga besar MTA dari
berbagai daerah yang hari itu memang masuk mengikuti pengajian khususi seperti
biasanya. “Sejak saat itu secara otomatis tugas-tugas Al Ustadz Abdullah
Thufail Saputro digantikan Ustadz Drs. Ahmad Sukina,” seperti yang dikutip dari
Kalaidoskop 1992 pada majalah Respon edisi Januari 1993.
Pada berbagai
kesempatan, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro sering menegaskan bahwa gerak
perjuangan MTA ini harus tetap jalan meski beliau tidak ada. "Ada atau
tidak ada saya, MTA supaya tetap jalan," pesan Al Ustadz Abdullah Thufail
Saputro seperti yang dikutip dari artikel berjudul “Mengenang 20 Tahun Al
Ustadz” pada Majalah Respon edisi Bulan September 1992.
Sementara itu,
putra keempat Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro, Munir Ahmad, juga menegaskan
bahwa di organisasi dakwah yang didirikan oleh ayahnya tidak mengenal sistem
pewarisan kepemimpinan. “Menurut penuturan Munir Ahmad (putra (Al Ustadz)
Abdullah Thufail Saputro), dalam beberapa kesempatan (Al Ustadz) Abdullah
Thufail Saputro sering menyampaikan kepada keluarga akan memimpin MTA selama 20
tahun, setelah itu MTA akan dipimpin oleh orang lain entah siapa. Tidak ada
pewarisan kepemimpinan dari pendiri (MTA) kepada generasi berikutnya,” tulis
Mutohharun Jinnan sebagaimana dikutip dari disertasinya.
Pada kesempatan
terakhir Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro memberikan ceramah di pengajian
Ahad Pagi, Beliau memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya kepada peserta
pengajian untuk menanyakan segala sesuatu yang belum jelas. Bahkan, pada
kesempatan tersebut, para peserta pengajian yang mengantuk diperintahkan untuk
cuci muka agar mampu menerima pelajaran.
“Pada hari-hari
terakhir beliau sempat berpesan kepada Kak Munir Ahmad, puteranya yang keempat
(Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro). "Kuatkan perjuangan demi Islam.
Walaupun ayahmu tidak menunggui. Santuni orang lemah. Gunakan akal, jangan
perasaan, namun jangan karena akal iman menjadi hancur. Hormati
pimpinan,"” seperti yang dikutip dari artikel berjudul “Mengenang 20 Tahun
Al Ustadz” pada Majalah Respon edisi Bulan September 1992.
Di tengah-tengah
kesibukan mengurus jenazah Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro, ada yang
memunculkan gagasan untuk merembug soal kepemimpinan di MTA. Kemudian dr. Arif
Suryawan menjelaskan, ketika Rasulullah Muhammad SAW meninggal dunia ada
sebagian sahabat mengurus jenazah dan sebagian lagi berembug tentang penganti
Rasulullah SAW. “Gagasan ini dilontarkannya ternyata mendapat tanggapan dari
bapak Mansyur Masyhuri,” sebagaimana dikutip dari majalah Respon edisi
September 1992.
Lalu beberapa
pengurus antara lain dari H. Mahali, sesepuh MTA di Ketitang, Nogosari,
Boyolali, dr. Arif Suryawan dan Mansur Masyhuri berembug membahas Pada
pertemuan tersebut secara aklamasi menyetujui Ustadz Drs. H. Ahmad Sukina
menggantikan kedudukan Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro. Pada waktu itu,
Mansur Masyhuri adalah orang pertama yang menjabat tangan Ustadz Drs. H. Ahmad
Sukina sebagai tanda pengakuan atas kepemimpinannya. "Ia yang lari pertama
kali menjabat tangan pak Kino," ujar dokter berkumis tebal itu kepada para
hadirin dalam pertemuan di aula MTA Pusat pada Rabu 16 September 1992 dikutip
dari majalah Respon edisi September 1992.
Ustadz Drs.
Ahmad Sukina pada hari itu juga disepakati oleh para pengurus MTA Pusat dan
ketua MTA di tingkat cabang atau perwakilan untuk menggantikan almarhum Al
Ustadz Abdullah Thufail Saputro sebagai ketua umum MTA. “Alasan dipilihnya
(Ustadz) Ahmad Sukina adalah karena kedekatan dan ketulusan dalam mengabdikan
diri kepada imam sebelumnya,” tulis Mutohharun Jinnan dalam disertasinya yang
bersumber dari Munir Ahmad, putra Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro.
Beliau
merupakan siswa pengajian Tafsir Al Qur’an di MTA yang bergabung sejak tahun
1974. Selain itu, Ustadz Drs. Ahmad Sukina senantiasa menemani Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro dalam mensyiarkan agama Islam. Hingga suatu ketika
Ustadz Drs. Ahmad Sukina diberi kesempatan untuk memberikan tausyiah di
pengajian Ahad Pagi MTA saat Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro sedang
menunaikan ibadah haji.
“Bahkan Ustadz
Drs. Ahmad Sukina pernah mendapat tugas untuk menyampaikan dekte pelajaran,
ketika Al Ustadz (Abdullah Thufail Saputro) berada di tempat,” tulis redaksi
majalah Respon yang dimuat di rubrik Laporan Utama berjudul “Mengenang 20 Tahun
Perjuangan Al Ustadz” pada majalah Respon edisi September 1992.
Ustadz Drs.
Ahmad Sukina mengaku dirinya tidak pernah absen dari pengajian dan jadwal
khotbah Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro. Bahkan setelah pengajiannya
selesai, ia sering berbincang banyak dengannya dan baru beranjak pulang ketika
Al Ustazd Abdullah Thufail Saputro sudah pulang. “Sampai akhirnya tanggal 14
September 1993 beliau wafat. Saat itu, saya menjadi salah satu orang yang
mengurus jenazah beliau, sedangkan pada saat yang bersamaan sejumlah perwakilan
MTA bermusyawarah memilih pengganti beliau,” terang Ustadz Drs. Ahmad Sukina
pada wartawan sebagaima yang dikutip dari tulisan di laman http://edisicetak.joglosemar.co/berita/ketua-umum-pimpinan-pusat-mta-drs-ahmad-sukina-istiqamah-di-jalan-dakwah-148941.html.
Pengukuhan
Ustadz Drs. Ahmad Sukina sebagai ketua umum MTA dilaksanakan pada Rabu, 16
September 1992. Pengukuhan ini disaksikan langsung oleh keluarga besar MTA dari
berbagai daerah yang hari itu memang masuk mengikuti pengajian khususi seperti
biasanya. “Sejak saat itu secara otomatis tugas-tugas Al Ustadz Abdullah
Thufail Saputro digantikan Ustadz Drs. Ahmad Sukina,” seperti yang dikutip dari
Kalaidoskop 1992 pada majalah Respon edisi Januari 1993.
Sementara itu,
salah seorang menantu Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro, Drs. Muhammad Ali
Joko Wasono M.S. menjelaskan, “Bu (istri Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro)
mendukung sepenuhnya terhadap pak Sukina sebagai penganti Al Ustadz (Abdullah
Thufail Saputro). Demikian juga putra-putra beliau,” kata Drs. Muhammad Ali
Joko Wasono, M.S. Pada kesempatan yang sama, Munir Ahmad, putra Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro, kepada para peserta pengajian khususi menyatakan, ‘Secara
tegas menyatakan mendukung Ustadz Drs. H. Ahmad Sukina,” seperti yang dikutip
dari artikel berjudul “Mengenang 20 Tahun Al Ustadz” pada Majalah Respon edisi
Bulan September 1992.
Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro memang banyak memberikan kepercayakan kepada Ustadz
Drs. Ahmad Sukina. Pernah suatu ketika Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro
menunaikan ibadah haji. Pada saat itulah Ustadz Drs. Ahmad Sukina yang mendapat
tugas dari Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro untuk mengisi pengajian Ahad Pagi
di Kemlayan. Selain itu, juga diberi tugas untuk memberikan ceramah di
pengajian Khususi Putra pada hari Rabu Sore di Kantor Pusat MTA, Semanggi,
Pasarkliwon, Solo.
Tidak hanya itu,
bahkan Ustadz Drs. Ahmad Sukina pernah mendapat tugas untuk menyampaikan dekte
pelajaran, ketika Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro berada di tempat.
“Isyarat-isyarat itu rasanya cukup menjadi alasan bagi para murid Beliau untuk
menetapkan dan mengangkat Ustadz Drs. H. Ahmad Sukina sebagai penganti. Ketika
Nabi Muhammad SAW sakit, Abu Bakar adalah sahabat yang mendapatkan tugas untuk
menggantikannya mengimami shalat. Karenanya sepeninggal Nabi, para sahabat juga
memilih dan mengangkat Abu Bakar Ash Shidiq sebagai pimpinan,” seperti yang
dikutip dari artikel berjudul “Mengenang 20 Tahun Al Ustadz” pada Majalah
Respon edisi Bulan September 1992.
Berkat ketegasan
yang ditanamkan oleh Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro sejak awal pendirian
MTA, saat ini MTA telah memiliki ratusan cabang dan perwakilan yang tersebar
dari Aceh hingga Papua. Di usianya yang menginjak tahun ke-44 MTA telah
menjelma menjadi lembaga dakwah Islam yang mampu tampil di tingkat nasional.
Terbukti dengan terselenggaranya kegiatan Shilaturahim Nasional (Silatnas) MTA
kedua di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) yang dihadiri oleh puluhan
ribu warga MTA pada Ahad, 27 Desember 2015.
Tidak
hanya itu, MTA kini juga telah memiliki stasiun radio, MTA FM, dan stasiun
televisi, MT@ TV sebagai sarana untuk mengiatkan kegiatan dakwah ke seluruh
Indonesia. Sedagkan di bidang pendidikan kini MTA telah memiliki puluhan
sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar
Islam Terpadu (SDIT), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas
(SMA) yag tersebar di beberapa wilayah.
“MTA enggak akan
hidup sampai sekarang, kalau Beliau (Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro) itu
tidak keras. Memang beliau itu terkenal keras,” kata ajudan pribadi Al Ustadz
Abdullah Thufail Saputro, Bariyanto, yang telah membersamai pendiri MTA ini
selama tiga belas tahun hingga beliau wafat. [Abdul Wahid]
Ijin menggunakan gambarnya
BalasHapus