Refleksi 44 Tahun Perjalanan Dakwah Majlis Tafsir Al Qur'an (MTA)

Yayasan Majlis Tafsir Al Qur’an atau lebih terkenal dengan akronim MTA merupakan sebuah lembaga dakwah Islam yang berpusat di kota Solo, Jawa Tengah. Lembaga dakwah ini didirikan oleh seorang mubaligh berdarah Pakistan yang bernama Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro.  Sejarah mencatat dua peristiwa penting terjadi bulan September. Suatu peristiwa yang sangat bertolak belakang. Pada 30 September 1965 terjadi peristiwa berdarah G30S/PKI yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi yang tidak mengakui adanya Tuhan (atheis). Tujuh tahun berselang, pada 19 September 1972 Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro mendirikan MTA untuk mengajak masyarakat mengenal Tuhannya. Sebuah perjuangan untuk mendobrak atheisme baik yang terselubung maupun yang terang-terangan.

Jauh sebelum mendirikan MTA, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro pada tahun 1966 telah tampil dihadapan publik umat Islam Solo untuk menumpas sisa-sisa pemberontakan G30S/PKI dengan menjadi ketua Koordinasi Kesatuan Pemuda Islam (KKPI) Surakarta.
Pada waktu itu, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro bersama para anggota delegasi KKPI yang mewakili umat Islam Solo sempat membuat dan mengirim ”Buku Putih” kepada Jenderal Soeharto, selaku pemegang mandat MPR. Sebagai upaya mempermudah delegasi KKPI bertemu dengan pejabat pemerintah pusat, maka pada 13 Februari 1967 organisasi Pemuda Anshor Cabang Kota Solo memberikan surat mandat kepada Abdullah Thufail Saputro sebagai ketua delegasi KKPI Surakarta.
“Pernah timbul anggapan bahwa Ustadz Abdullah adalah orang NU. Gara-garanya adalah Ustadz Abdullah mendapat mandat dari NU untuk menyerahkan Buku Putih kepada Jenderal Soeharto,” ungkap Prof. Drs. Mugijatna, M.Si., Ph.D.

Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro yang berprofesi sebagai pedagang batu permata,  berkesempatan untuk keliling Indonesia, kecuali Papua. Berkat profesinya ini Beliau mampu melihat secara langsung kondisi umat Islam Indonesia yang kurang memahami Al Qur’an. Selain itu, Beliau juga merasa prihatin tatkala menjumpai perpecahan antar umat Islam dan maraknya praktik keagamaan yang menyimpang dari syariat Islam.
Berdasarkan permasalahan semacam itu, muncullah ide dalam benak Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro untuk membentuk suatu lembaga dakwah Islam yang diharapkan mampu menggalakkan dakwah guna membebaskan umat Islam dari sikap sinkretisme. Serta menyeru umat Islam untuk kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
Ide Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro untuk pertama kalinya disampaikan kepada khalayak umum di sebuah pertemuan ulama se-Solo Raya di gedung Umat Islam Kartopuran, Solo. Organisasi Islam yang hadir pada waktu itu antara lain Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, PSII, dan Al-Irsyad. Hanya saja, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro pada waktu itu tidak berafiliasi pada salah satu organisasi Islam yang telah ada dan ia juga tidak mempunyai organisasi Islam untuk menjalankan roda dakwah.
Sayangnya, ide yang dikemukakan oleh Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro itu berakhir sebagai sebuah impian belaka. Hal tersebut diketahui setelah para ulama dan pimpinan organisasi Islam se Solo Raya melakukan pertemuan sebanyak tiga kali. Peserta pertemuan ini tidak menyetujui adanya penyatuan organisasi Islam untuk melebur menjadi satu bentuk lembaga dakwah. Sedangkan untuk menjawab permasalahan umat Islam yang dikemukakan oleh Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro itu dikembalikan kepada masing-masing organisasi Islam untuk membina umat Islam.
“Pertemuan berlangsung tiga kali dan dipimpin langsung oleh Abdullah Thufail Saputro. Pada pertemuan yang terakhir menghasilkan suatu kesepakatan bahwa ide yang dikemukakannya tidak dapat diterima,” ungkap Dahlan Harjotaruno dalam disertasi “Kepemimpinan Imaamah dalam Gerakan Purifikasi Islam di Pedesaan.”
Tidak disepakatinya ide Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro tersebut tidak menyurutkan semanggat juangnya untuk mendirikan sebuah lembaga dakwah Islam yang mengajak umat Islam untuk kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Dengan semangat juang, kebulatan tekad dan penuh keikhlasan, Ustadz Abdullah Thufail Saputro mendirikan pengajian tafsir dengan cara membentuk panitia bayangan yang terdiri dari:
Ketua: Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro
Sekretaris: M. Ihsan
Bendahara: Ahmad Sungkar.
Diawali oleh tujuh orang peserta, dibukalah pengajian angkatan pertama dengan sebutan pengajian gelombang pertama pada Senin, 19 September 1972 di ruang tamu rumah kakak kandung Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro. “Di tempat ini dulu pertama kali buat pengajian Tafsir Al Qur’an mas,” kata Siti Khadijah, kakak kandung Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro, saat dijumpai dikediamannya yang berada persis di sebelah kantor pusat MTA, jalan Serayu no. 12, Pasarkliwon, Solo.

Pada awal kepemimpinannya di MTA, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro memberikan pendidikan yang tegas kepada murid-muridnya. Model pengajian di MTA sejak awal memang di desain berjalan intensif tiap pekan. Pengajian intensif satu pekan sekali ini disebut dengan istilah gelombang.
Istilah gelombang memiliki makna bahwa gelombang laut itu tidak pernah berhenti, tidak pernah merasa lelah dan jenuh meskipun setiap saat harus berbenturan dengan kerasnya batu karang. Demikian pula dengan mengikuti pengajian Tafsir Al Qur’an di MTA. Tidak boleh mudah menyerah dalam mengamalkan hasil pengajian meskipun banyak ujian yang dihadapi.
Menurut pengawal pribadi Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro, Bariyanto, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro tak segan-segan untuk membubarkan pengajian gelombang bila diketahuinya ada peserta pengajian gelombang yang malas, dan mudah untuk membolos. Setelah membubarkan pengajian, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro akan mengumumkan kepada khalayak umum tentang pembentukan pengajian gelombang baru.
“Dengan sistem pengajian gelombang, akan tersisih (sendiri) peserta yang tidak bermutu,” jelas Pak Barri yang hampir tiap malam memijat Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro.
Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro sangat bersungguh-sungguh dalam merintis MTA. Banyak waktu yang Beliau korbankan untuk membangun lembaga dakwah ini. Hampir seluruh kegiatan pengajian MTA dipimpin sendiri dengan gigih dan tidak kenal lelah oleh Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro. Hal ini Beliau lakukan untuk menjaga soliditas, persatuan dan persaudaraan seluruh warga pengajian MTA.
“Ia pula menjadi guru tunggal memberikan bimbingan kepada warga MTA di pengajian gelombang di kantor Pusat Semanggi. Pengetahuan dan keluasan wawasan dari pengalaman berdagang menjadikan wibawanya semakin kokoh dan menjadi pusat seluruh penyelesaian persoalan yang dihadapi oleh warganya,” kata putra Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro, Munir Ahmad kepada Mutohharun Jinnan seperti yang dikutip dalam disertasi “Kepemimpinan Imaamah dalam Gerakan Purifikasi Islam di Pedesaan.”.
Lebih lanjut Munir Ahmad menuturkan, “Dalam berbagai kesempatan (Al Ustadz) Abdullah Thufail Saputro sering menyampaikan kepada keluarga akan memimpin MTA selama 20 tahun, setelah itu MTA akan dipimpin oleh orang lain entah siapa. Tidak ada pewarisan kepemimpinan dari pendiri kepada generasi berikutnya,” seperti yang dikutip dalam disertasi “Kepemimpinan Imaamah dalam Gerakan Purifikasi Islam di Pedesaan.”
Selang tiga bulan berikutnya, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro dengan penuh percaya diri mengumumkan pembukaan pengajian Tafsir Al Qur’an gelombang kedua melalui radio amatir di Kota Solo seperti radio ABC dan RRI Surakarta. Dengan adanya pengumuman pembukaan pengajian Tafsir Al Qur’an lewat radio tersebut, banyak umat Islam yang mendaftarkan diri.
Pelan namun pasti, ruang tamu rumah kakak kandung Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro tak muat lagi untuk menampung peserta pengajian Tafsir Al Qur’an. Hal ini karena jamaah yang hadir semakin banyak jumlahnya. Kemudian pengajian berpindah ke Masjid Marwah yang berada tak jauh dari kediaman Siti Khadijah.
Karena saking banyaknya, pengajian gelombang kedua ini dikelompokkan menjadi tiga bagian. Masing-masing kelompok masuk pagi, sore, dan malam hari. Sedangkan untuk peresmian pengajian gelombang kedua ini dilaksanakan pada hari Ahad, 16 Desember 1972, dihadiri oleh sejumlah ulama tokoh fungsionaris Islam Surakarta dan masyarakat sekitar.
Tak berlangsung lama, Masjid Marwah pun tak mampu menampung melubernya jemaah pengajian Tafsir Al Qur’an yang kian membeludak. Kemudian dibelilah sebidang tanah di samping rumah Siti Khadijah untuk dibangun gedung pengajian yang hingga saat ini masih digunakan sebagai kantor pusat MTA yaitu di Jalan Serayu Nomor 12, Semanggi, Pasarkliwon, Solo.
"Ia datang ke saya untuk pinjam uang. Katanya kepingin nyari tempat untuk membuat pengajian. Nyari dapat itu. Sesudah itu dia mulai aktif di pengajian. Terus berkembang,” cerita Habib Nuh, salah seorang tetangga Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro.
Melihat peminat pengajian semakin banyak, beliau berpikir untuk segera memiliki gedung pengajian sendiri. Akhirnya beliau membangun gedung pengajian yang dibantu oleh Ibu Hajah Nuriyah Shabran dan beserta keluarganya yang lain.
“Gedung pengajian itu selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 23 Januari 1974 oleh Dandim Surakarta 0735, Letkol Sugiarto, serta dihadiri para ulama dan pimpinan organisasi Islam Solo Raya,” tulis sekretariat MTA dalam buku “Mengenal Yayasan Majlis Tafsir Al Qur’an.”
Kemudian dibukalah pengajian Tafsir Al Qur’an gelombang tiga. Sedangkan gelombang keempat di buka setelah gedung baru selesai di bangun. Gelombang keempat ini bertempat di Sekolah Dasar Muhammadiyah Kebonan, yang berada di dekat stadion Sriwedari. Pada gelombang inilah (Al) Ustadz Ahmad Sukina (sekarang Dewan Pembina MTA) menjadi murid gelombang empat Kebonan ini.
“Keempat gelombang pengajian ini secara bergantian ditangani langsung oleh Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro,” jelas pimpinan Pusat MTA, Prof. Drs. Mugijatna, M.Si., Ph.D.
Kegiatan pengajian Tafsir Al Qur’an yang diasuh oleh Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro ini semakin banyak diikuti oleh umat Islam dan dilaksanakan di beberapa tempat. Kemudian muncullah ide untuk melegalkan kelompok pengajian Tafsir Al Qur’an ini agar semua kegiatan yang diadakan dapat bersifat legal dan mampu diterima oleh semua elemen masyarakat.
Oleh sebab itu, dua (2) tahun kemudian kelompok pengajian Tafsir Al Qur’an ini didaftarkan ke Departemen Sosial dengan nama Majlis Tafsir Al Qur’an. Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro pun mencatatkan dirinya sebagai pendiri Majlis Tafsir Al Qur’an. Pada waktu itu, badan hukum yang dipakai oleh Majlis Tafsir Al Qur’an berupa yayasan dengan akta notaris R. Soegondo Notosoerjo, No. 23, tertanggal 23 Januari 1974.
Sejatinya, kelompok pengajian Tafsir Al Qur’an yang diasuh oleh Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro ini tidak ingin memiliki nama resmi. Alasannya adalah untuk menghindari kesan negatif bahwa umat Islam terpecah dalam firqah, ashabiyah, dan fanatisme golongan hanya karena memiliki nama sendiri-sendiri.
“Tetapi dalam perkembangannya ada tuntutan administratif dan demi mematuhi undang-undang negara yang berlaku di Indonesia yang mana sebuah perkumpulan harus memilih yayasan atau organisasi massa dengan nama yang definitif, maka dipilihlah nama Majlis Tafsir Al-Quran, yang secara resmi berdiri pada tanggal 19 September 1972 meskipun belum dicatatkan di kantor notaris,” tutur salah seorang Pimpinan Pusat MTA, Drs. Medi, di dalam disertasi yang berjudul “Kepemimpinan Imaamah dalam Gerakan Purifikasi Islam di Pedesaan.”
“Adapun susunan pengurusnya meliputi: Ketua (Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro), Wakil Ketua (Ir. Sumarno), Sekretaris I (Wahidin Jabari), Sekretaris II (Junaedi Husein), Bendahara I (Nyonya Sumarno), Bendahara II (Umi Salamah), Pembantu Umum (Nyonya Suprapti, Yahya Saputro, dan Hidar Muharim),” tulis sekretariat MTA dalam buku “Mengenal Yayasan Majlis Tafsir Al Qur’an.”
Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro memilih kata ”Majlis” untuk mengawali nama lembaga dakwah yang baru Beliau dirikan. Hal ini karena peserta pengajian Tafsir Al Qur’an yang diasuh oleh Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro selalu duduknya melingkar dan menyimak paparan dari sang Ustadz.
Kata “Majlis” sendiri berasal dari bahasa Arab, jalasa, yang artinya duduk. Sedangkan kata Tafsir Al Qur’an digunakan sebagai penanda bahwa majlis mengkaji tafsir-tafsir Al Qur’an yang telah ada. Bukan sebagai majlis yang menafsirkan Al Qur’an kembali.
“Majlis yang dimaksudkan di sini adalah suatu tempat berkumpul beberapa orang untuk berbincang-bincang tentang berbagai masalah seperti pengajian, diskusi, belajar bersama, usrah, rapat, dan lain-lain baik yang bersifat resmi atau tidak,” tulis Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro dalam tulisan yang berjudul “Adabul Majalis.”
Pada saat ini, nama yayasan Majlis Tafsir Al Qur’an lebih populer disebut dengan singkatan MTA. Penyebutan dengan singkatan MTA untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh aparat keamanan.
“(ABRI) yang merasa sulit menyebut lengkap nama yayasan ini pada saat memintai keterangan dari pimpinan. Sementara warga MTA sendiri lebih memilih sebutan ”majlis” dalam percakapan sehari-hari,” kata Dahlan Harjotaruno dalam disertasi “Kepemimpinan Imaamah dalam Gerakan Purifikasi Islam di Pedesaan” yang di tulis oleh Mutohharun Jinnan.

MTA memiliki lambang berupa gambar kitab Al Qur’an yang di atasnya terdapat kutipan QS. Al Isra’ [17] ayat 9, Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus. Sedangkan dibagian bawah terdapat kutipan QS. Al Hadid [57] ayat  16, Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?.
Lambang tersebut memiliki makna:
1.      Gambar kitab Al Qur’an memiliki arti bahwa Al Qur’an sebagai kitab suci berisi firman Alla SWT untuk dijadikan sebagai pedoman hidup umat manusia.
2.      QS Al Israa’ ayat 9 memiliki arti, “Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” Makna dari ayat ini adalah Al Qur’an yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW harus digunakan oleh umat Islam sebagai petunjuk menuju jalan yang lurus. Selain itu, Al Qur’an juga menjadi sumber rujukan bagi kehidupan manusia agar terhindar dari perbuatan yang menyimpang.
3.      QS. Al Hadiid ayat 16 memiliki arti, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?.” Makna dari kalam Allah SWT ini merupakan suatu teguran bagi orang-orang yang beriman agar mereka selalu mengingat Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Ayat ini juga menyeru kepada umat Islam untuk mempercayai kebenaran ayat-ayat Al Qur’an yang tidak ada keraguan di dalamnya.
Pendiri sekaligus ketua umum Yayasan Majlis Tafsir Al Qur’an (MTA) Solo, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro, di awal kepemimpinannya telah berhasil mendirikan Rumah Bersalin (RB) MTA pada tahun 1974. RB MTA ini lokasinya bersebelahan dengan kantor Pusat MTA yang beralamat lengkap jalan Cilosari, Semanggi 02/XIII, Pasarkliwon Solo.

Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro saat itu merasa prihatin dengan minimnya sarana kesehatan di daerah Semanggi, Pasarkliwon, Solo. Kemudian MTA mendirikan RB MTA dengan tujuan semata-mata untuk kegiatan sosial kepada masyarakat umum.
“Pembukaan itu (RB MTA) ditandai dengan acara khitanan massal,” kata Fathurrahman yang merupakan murid Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro di gelombang pertama MTA Pusat.
Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro pada saat memimpin MTA juga membuat media dakwah berupa majalah yang terbit tiap bulan. Majalah itu diberi nama majalah Respon. Di dalam sebuah artikel berjudul “Respon Memasuki Tahun ke 6” yang dimuat pada Majalah Respon edisi bulan Februari 1993 menjelaskan, majalah Respon awalnya dirintis oleh Prof. Drs. Mugijatna, M.Si., Ph.D atau biasa disapa dengan sebutan Ustadz Yoyok.
Tepatnya pada tahun 1974, Ustadz Yoyok membuat majalah dinding (mading) yang diberi nama Al Indar. Ustadz Yoyok bersama Nugroho Slamet dan Sarni Hajar membuat mading Al Indar terbit sekali dalam sepekan. Pelan-pelan mading Al Indar pada Desember 1974 berevolusi menjadi majalah yang diberi nama Respons. Majalah Respons ini mampu terbit tiap sebulan sekali menggunakan kertas buram yang di cetak dengan mesin stensil. Namun sayang, setelah mampu terbit sebulan sekali dalam rentang waktu 3 tahun akhirnya majalah Respons ini tumbang.
Pada bulan Desember 1977 majalah Respons terbit untuk terakhir kalinya. Hal ini lantaran Ustadz Yoyok melepas jabatan sebagai pemimpin majalah Respons karena Beliau mulai Januari 1978 sedang menempuh studi di Fakultas Sastra UNS. Praktis, majalah Respons tidak bisa menyapa pembacanya sebab Ustadz Yoyok sudah tak mampu lagi mengelola majalah Respons.
“Majalah Respon itu awalnya yang merintis saya,” cerita Guru Besar Bidang Ilmu Kajian Budaya dengan Fokus Sastra di Universitas Sebelas Maret Solo yang menjelaskan, mading Al Indar dan majalah Respons merupakan embrio dari lahirnya Majalah Respon (tanpa S) yang dikeluarkan oleh MTA.
Pada Maret 1984, majalah Respon (tanpa s) sempat hadir kembali di tengah-tengah warga MTA. Namun sayang, kembali terbitnya majalah Respon tidak berlangsung lama. Berdasarkan surat dari Departemen Penerangan (Deppen) Kodya Solo, majalah Respon untuk kesekian kalinya dilarang terbit.

Sejarah mencatat, pada 6 Januari 1988 ada 33 sarjana dari berbagai disiplin ilmu yang mengaji di MTA mengadakan tatap muka dengan Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro. Fokus utama yang dibahas pada pertemuan di aula MTA Pusat itu adalah bagaimana kiprah para sarjana untuk memberikan informasi kepada warga MTA. Berbagai usulan sempat dikemukakan soal bagaimana teknik memberikan penyuluhan kepada warga MTA yang tinggal di desa-desa.
Setelah menerima berbagai usulan, akhirnya Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro yang memimpin jalannya pertemuan memerintahkan agar majalah Respon diterbitkan kembali. Hal ini dimaksudkan sebagai media atau sarana untuk memberikan penyuluhan kepada keluarga besar MTA. Maka, sejak Februari 1988 majalah Respon kembali terbit di tengah-tengah warga MTA hingga akhirnya majalah ini kembali tumbang di awal tahun 2014.
“Bertitik tolak dari perintah Al Ustadz Abdullah Thufail (Saputro) sebagai pimpinan umum dan pendiri yayasan Majlis Tafsir Al Qur’an itulah sarjana yang mengaji di MTA ini merintis terbitnya kembali majalah Respon. Sejak saat itulah Drs. Sugiman ditunjuk untuk menjadi pemimpin redaksi menggantikan Drs. Yoyok Mugijatna dan Drs. Rochmadi diberi tugas sebagai sekretaris redaksi,” tulis redaksi majalah Respon.
Selain mendirikan RB MTA dan Majalah Respon, campaian lain yang telah ditorehkan oleh Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro saat memimpin MTA adalah mendirikan sekolah formal. Di dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Yayasan MTA pada pasal 3 disebutkan bahwa untuk mencapai tujuannya, Yayasan MTA berusaha menyelenggarakan pendidikan formal dan non formal.
Lembaga pendidikan formal yang didirikan oleh Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) MTA Solo. Beliau berharap dengan didirikannya SMA MTA Solo, umat Islam mempunyai generasi Islam penerus yang memiliki akhlaq mulia. Selain itu, lulusan SMA MTA Solo juga diharapkan mempunyai kemampuan daya saing unggul yang mampu memenangkan segala bentuk tantangan dan persaingan yang  terus  berkembang  dalam  kehidupan masyarakat.
“Berangkat  dari  konsep  kehidupan tersebut, mendorong Al-Ustadz K.H Abdullah Thufail  Saputro  (Alm)  selaku  ketua  umum Yayasan  Majlis  Tafsir  Al  Qur'an    Pusat   pertama  pada  tanggal  2  Desember  1986 mengajukan  permohonan  ijin  pendirian SMA MTA Surakarta,” dikutip dari artikel “Pendidikan Berdaya Saing Tinggi” pada majalah Al Mar’ah Edisi Mei 2012.
Tepat pada tanggal 5 Mei 1987 SMA MTA Solo berdiri dengan turunnya Surat Keputusan (SK) No. 662/I.03/I.87 yang ditandatangani oleh kepala kantor wilayah Dekdikbud Propinsi Jawa Tengah, Drs. Poeger. Oleh karena itu, pada tahun pelajaran 1987/1988 SMA MTA Solo sudah menerima siswa baru untuk angkatan pertama.
Sejak awal pendirian SMA MTA Solo, yayasan MTA sama sekali tidak mengharapkan keuntungan dari segi materi maupun finansial. Yayasan MTA sebagai pihak pengelola hanya mengharapkan lulusan dari SMA MTA Solo memiliki karakter Islam kuat dengan landasan agama yang benar. Selain itu, SMA MTA Solo juga diharapkan mampu memberikan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didiknya sehingga mereka mampu bersaing dalam percaturan global dewasa ini.

Siswa-siswi SMA MTA Solo sejak angkatan pertama memang berasal dari berbagai daerah di luar Kota Solo. Secara umum, anak didik SMA MTA Solo merupakan putra dari peserta pengajian MTA yang tersebar di berbagai daerah, termasuk di luar Jawa. Maka, di SMA MTA Solo ada asrama yang dipergunakan untuk tempat tinggal siswa-siswi yang berasal dari luar Kota Solo.
Berkat daya dukung yang kuat dari warga pengajian MTA dalam pengembangan sekolah, kini SMA MTA Solo telah memiliki gedung tiga lantai untuk aktivitas sekolah yang terletak di pinggir jalan Kyai Mojo. Sebelumnya, SMA MTA Solo pernah menempati bangunan yang berada di dekat kantor pusat MTA, saat ini tempat itu dijadikan sebagai Klinik Pratama MTA. Tak berlangsung lama, kemudian aktivitas SMA MTA Solo berpindah lokasi di dekat tanggul, sekitar kurang lebih satu KM ke arah timur dari tempat semula. Tempat tersebut saat ini telah beralih fungsi menjadi asrama putri SMA MTA Solo.
“Sejak tahun 1999 pindah ke Jl. Kyai Mojo ini. Dulu masih bangunan di belakang ini. Nah, kini kita terus membangun untuk juga menunjang fasilitas belajar mengajar,” ujar Diastono, Kepala SMA MTA Solo, seperti yang dikutip dari artikel “Usaha Penunjang Dakwah” pada majalah Isra’ edisi Februari 2012.
SMA MTA Solo bisa disebut sebagai sekolah favorit unggulan. Mengingat saat ini, tak kurang dari 800-an siswa dan siswi menuntut ilmu di tempat tersebut. Untuk menjaga kualitas peserta didik, SMA MTA Solo menyediakan asrama yang saat ini ditempati oleh kurang lebih 700 siswa.
“Sekolah Menengah Atas (SMA) MTA Surakarta telah mendapatkan akreditasi A. Dengan fasilitas asrama yang dimilikinya, SMA MTA berstatus Islamic Boarding School berdasarkan SK Yayasan No. 03.002/SK/VI/2008 tanggal 20 Juni 2008 tentang Penetapan Islamic Boarding School (IBS) di lingkungan pendidikan MTA,” di kutip dari Sejarah Singkat SMA MTA Solo yang terdapat pada laman http://www.smamta-ska.sch.id/index.php/welcome/profil/12
***
Pada beberapa kesempatan Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro kerap menyatakan akan memimpin MTA selama dua puluh tahun. Nampaknya Allah SWT memperkenankan keinginan Beliau untuk memimpin MTA selama 20 tahun. Terbukti beliau memimpin MTA 20 tahun kurang 4 hari.
Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro meninggal dunia di RS Kasih Ibu pada Selasa, 15 September 1992. Pada hari yang sama, jenazah pendiri MTA ini dikebumikan di pemakaman umum Tipes, Solo pada sore harinya. Ribuan umat Islam di Kota Solo turut berkabung atas peristiwa tersebut.
"Ketika Al Ustadz menngatakan akan memimpin MTA selama 20 tahun kepada dr. Arif dan saya, saya mengatakan “Untuk tahap pertama”. Namun beliau tidak memberi komentar apa-apa, hanya tersenyum," ujar Ustadz Drs. H. Ahmad Sukina seperti yang dikutip dari Majalah Respon edisi Bulan September 1992.

Pada kesempatan terakhir memberikan ceramah di pengajian Ahad Pagi, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya kepada peserta pengajian untuk menanyakan segala sesuatu yang belum jelas. Bahkan, pada kesempatan tersebut, para peserta pengajian yang mengantuk diperintahkan untuk cuci muka agar mampu menerima pelajaran.
“Pada hari-hari terakhir beliau sempat berpesan kepada Kak Munir Ahmad, puteranya yang keempat. "Kuatkan perjuangan demi Islam. Walaupun ayahmu tidak menunggui. Santuni orang lemah. Gunakan akal, jangan perasaan, namun jangan karena akal iman menjadi hancur. Hormati pimpinan,"” seperti yang dikutip dari artikel berjudul “Mengenang 20 Tahun Al Ustadz” pada Majalah Respon edisi Bulan September 1992.

Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro memang dikenal luas sebagai sosok pejuang yang gigih. Semasa memimpin MTA, Beliau sempat dua kali keluar rumah sakit tanpa ijin saat dirawat di RS Kasih Ibu. Pada saat itu beliau keluar rumah sakit untuk mengisi pengajian Ahad Pagi di Kemlayan, Serengan, Solo dan pada pengajian Khususi Ibu-ibu, Senin Malam di aula MTA Pusat Semanggi, Pasar Kliwon, Solo.
Kendati sedang dalam kondisi sakit, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro pantang menyerah pada penyakit yang sedang dideritanya. Beliau tetap tegar menghadapi sakit supaya dapat tetap berjuang fi sabilillah mengajar di MTA. “Kewajiban saya itu mengajar kok saya diopname, keluar dari opname,” jelas Fathurahman yang merupakan menantu Ibu Siti Kadhijah.
Semangat Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro dalam mensyiarkan Islam sangat terlihat menjelang kematiannya. Walaupun dalam kondisi sakit, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro tetap mengisi pengajian Khususi Ibu-ibu pada malam selasa dan menerima tamu yang berkonsultasi.
“Malam masih mengisi (pengajian) Khususi putri di kantor pusat (MTA),” kata Bariyanto, pengawal pribadi Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro saat dijumpai di tempat kerjanya. Demi meyakinkan pernyataannya, lalu Bariyanto menanyakan perihal tersebut kepada sang istri yang pada waktu itu menjadi peserta pengajian Khususi Ibu-ibu.
Salah seorang murid Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro yang setia setiap saat menyertainya sempat bercerita. Menurutnya, sebelum Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro meninggal dunia, Beliau telah menyiapkan brosur untuk Gelombang VII. Sejatinya, brosur setebal tujuh halaman yang berjudul  “Mengingat Mati” itu akan disampaikan pada Kamis (17/09) sore. "Al Ustadz sudah mempersiapkan brosur untuk gelombang VII dengan judul mengingat mati," kata Ustadz Drs. H. Ahmad Sukina, sebagaimana yang dikutip dari artikel “Mengenang 20 Tahun Perjuangan Al Ustadz” pada majalah Respon Edisi September 1992.
Hingga akhirnya pada Selasa (15/06/1993) dini hari sekitar pukul 03.30 dada Beliau terasa sesak. Oleh dr. Arif Suryawan Beliau dilarikan ke RS Kasih Ibu untuk mendapat perawatan intensif. “Al Ustadz K.H. Abdullah Thufail Saputro, pendiri dan ketua umum yayasan MTA telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya dalam waktu itu cepat dilantai IV RS Kasih Ibu pada Selasa (15/09) sekitar pukul 07.40,” dikutip dari artikel berjudul “Mengenang 20 Tahun Al Ustadz” pada Majalah Respon edisi Bulan September 1992.
Gubernur Jawa Tengah HM Ismail, Walikota Solo HR Hartomo dan segenap tokoh serta umat Islam menyampaikan bela sungkawa atas meninggalnya ulama berusia 65 tahun tersebut. Selain itu, ribuan umat Islam dari berbagai kalangan turut hadir melayat.
Meskipun dihadiri oleh ribuan pelayat, prosesi pemakaman dilakukan dengan sangat sederhana tanpa upacara dan sambutan dari tokoh masyarakat maupun pejabat pemerintah. Satu-satunya sambutan disampaikan oleh Ustadz Drs. Ahmad Sukina yang baru saja terpilih sebagai ketua umum MTA menggantikan almarhum Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro. Di dalam sambutannya, Ustadz Drs. Ahmad Sukina mengungkapkan rasa terima kasih atas kehadiran para pelayat.
Ustadz Drs. Ahmad Sukina pada hari itu disepakati oleh para pengurus MTA Pusat dan ketua-ketua MTA di tingkat Kabupaten atau perwakilan untuk menggantikan almarhum Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro sebagai ketua umum MTA. “Alasan dipilihnya (Ustadz) Ahmad Sukina adalah karena kedekatan dan ketulusan dalam mengabdikan diri kepada imam sebelumnya,” tulis Mutohharun Jinnan dalam disertasinya yang bersumber dari Munir Ahmad, putra Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro.
Pengukuhan Ustadz Drs. Ahmad Sukina sebagai ketua umum MTA dilaksanakan pada Rabu, 16 September 1992. Pengukuhan ini disaksikan langsung oleh keluarga besar MTA dari berbagai daerah yang hari itu memang masuk mengikuti pengajian khususi seperti biasanya. “Sejak saat itu secara otomatis tugas-tugas Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro digantikan Ustadz Drs. Ahmad Sukina,” seperti yang dikutip dari Kalaidoskop 1992 pada majalah Respon edisi Januari 1993.
Pada berbagai kesempatan, Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro sering menegaskan bahwa gerak perjuangan MTA ini harus tetap jalan meski beliau tidak ada. "Ada atau tidak ada saya, MTA supaya tetap jalan," pesan Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro seperti yang dikutip dari artikel berjudul “Mengenang 20 Tahun Al Ustadz” pada Majalah Respon edisi Bulan September 1992.
Sementara itu, putra keempat Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro, Munir Ahmad, juga menegaskan bahwa di organisasi dakwah yang didirikan oleh ayahnya tidak mengenal sistem pewarisan kepemimpinan. “Menurut penuturan Munir Ahmad (putra (Al Ustadz) Abdullah Thufail Saputro), dalam beberapa kesempatan (Al Ustadz) Abdullah Thufail Saputro sering menyampaikan kepada keluarga akan memimpin MTA selama 20 tahun, setelah itu MTA akan dipimpin oleh orang lain entah siapa. Tidak ada pewarisan kepemimpinan dari pendiri (MTA) kepada generasi berikutnya,” tulis Mutohharun Jinnan sebagaimana dikutip dari disertasinya. 
Pada kesempatan terakhir Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro memberikan ceramah di pengajian Ahad Pagi, Beliau memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya kepada peserta pengajian untuk menanyakan segala sesuatu yang belum jelas. Bahkan, pada kesempatan tersebut, para peserta pengajian yang mengantuk diperintahkan untuk cuci muka agar mampu menerima pelajaran.
“Pada hari-hari terakhir beliau sempat berpesan kepada Kak Munir Ahmad, puteranya yang keempat (Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro). "Kuatkan perjuangan demi Islam. Walaupun ayahmu tidak menunggui. Santuni orang lemah. Gunakan akal, jangan perasaan, namun jangan karena akal iman menjadi hancur. Hormati pimpinan,"” seperti yang dikutip dari artikel berjudul “Mengenang 20 Tahun Al Ustadz” pada Majalah Respon edisi Bulan September 1992.
Di tengah-tengah kesibukan mengurus jenazah Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro, ada yang memunculkan gagasan untuk merembug soal kepemimpinan di MTA. Kemudian dr. Arif Suryawan menjelaskan, ketika Rasulullah Muhammad SAW meninggal dunia ada sebagian sahabat mengurus jenazah dan sebagian lagi berembug tentang penganti Rasulullah SAW. “Gagasan ini dilontarkannya ternyata mendapat tanggapan dari bapak Mansyur Masyhuri,” sebagaimana dikutip dari majalah Respon edisi September 1992.
Lalu beberapa pengurus antara lain dari H. Mahali, sesepuh MTA di Ketitang, Nogosari, Boyolali, dr. Arif Suryawan dan Mansur Masyhuri berembug membahas Pada pertemuan tersebut secara aklamasi menyetujui Ustadz Drs. H. Ahmad Sukina menggantikan kedudukan Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro. Pada waktu itu, Mansur Masyhuri adalah orang pertama yang menjabat tangan Ustadz Drs. H. Ahmad Sukina sebagai tanda pengakuan atas kepemimpinannya. "Ia yang lari pertama kali menjabat tangan pak Kino," ujar dokter berkumis tebal itu kepada para hadirin dalam pertemuan di aula MTA Pusat pada Rabu 16 September 1992 dikutip dari majalah Respon edisi September 1992.
Ustadz Drs. Ahmad Sukina pada hari itu juga disepakati oleh para pengurus MTA Pusat dan ketua MTA di tingkat cabang atau perwakilan untuk menggantikan almarhum Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro sebagai ketua umum MTA. “Alasan dipilihnya (Ustadz) Ahmad Sukina adalah karena kedekatan dan ketulusan dalam mengabdikan diri kepada imam sebelumnya,” tulis Mutohharun Jinnan dalam disertasinya yang bersumber dari Munir Ahmad, putra Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro.

Beliau merupakan siswa pengajian Tafsir Al Qur’an di MTA yang bergabung sejak tahun 1974. Selain itu, Ustadz Drs. Ahmad Sukina senantiasa menemani Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro dalam mensyiarkan agama Islam. Hingga suatu ketika Ustadz Drs. Ahmad Sukina diberi kesempatan untuk memberikan tausyiah di pengajian Ahad Pagi MTA saat Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro sedang menunaikan ibadah haji.
“Bahkan Ustadz Drs. Ahmad Sukina pernah mendapat tugas untuk menyampaikan dekte pelajaran, ketika Al Ustadz (Abdullah Thufail Saputro) berada di tempat,” tulis redaksi majalah Respon yang dimuat di rubrik Laporan Utama berjudul “Mengenang 20 Tahun Perjuangan Al Ustadz” pada majalah Respon edisi September 1992.
Ustadz Drs. Ahmad Sukina mengaku dirinya tidak pernah absen dari pengajian dan jadwal khotbah Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro. Bahkan setelah pengajiannya selesai, ia sering berbincang banyak dengannya dan baru beranjak pulang ketika Al Ustazd Abdullah Thufail Saputro sudah pulang. “Sampai akhirnya tanggal 14 September 1993 beliau wafat. Saat itu, saya menjadi salah satu orang yang mengurus jenazah beliau, sedangkan pada saat yang bersamaan sejumlah perwakilan MTA bermusyawarah memilih pengganti beliau,” terang Ustadz Drs. Ahmad Sukina pada wartawan sebagaima yang dikutip dari tulisan di laman http://edisicetak.joglosemar.co/berita/ketua-umum-pimpinan-pusat-mta-drs-ahmad-sukina-istiqamah-di-jalan-dakwah-148941.html.

Pengukuhan Ustadz Drs. Ahmad Sukina sebagai ketua umum MTA dilaksanakan pada Rabu, 16 September 1992. Pengukuhan ini disaksikan langsung oleh keluarga besar MTA dari berbagai daerah yang hari itu memang masuk mengikuti pengajian khususi seperti biasanya. “Sejak saat itu secara otomatis tugas-tugas Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro digantikan Ustadz Drs. Ahmad Sukina,” seperti yang dikutip dari Kalaidoskop 1992 pada majalah Respon edisi Januari 1993.
Sementara itu, salah seorang menantu Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro, Drs. Muhammad Ali Joko Wasono M.S. menjelaskan, “Bu (istri Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro) mendukung sepenuhnya terhadap pak Sukina sebagai penganti Al Ustadz (Abdullah Thufail Saputro). Demikian juga putra-putra beliau,” kata Drs. Muhammad Ali Joko Wasono, M.S. Pada kesempatan yang sama, Munir Ahmad, putra Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro, kepada para peserta pengajian khususi menyatakan, ‘Secara tegas menyatakan mendukung Ustadz Drs. H. Ahmad Sukina,” seperti yang dikutip dari artikel berjudul “Mengenang 20 Tahun Al Ustadz” pada Majalah Respon edisi Bulan September 1992.
Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro memang banyak memberikan kepercayakan kepada Ustadz Drs. Ahmad Sukina. Pernah suatu ketika Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro menunaikan ibadah haji. Pada saat itulah Ustadz Drs. Ahmad Sukina yang mendapat tugas dari Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro untuk mengisi pengajian Ahad Pagi di Kemlayan. Selain itu, juga diberi tugas untuk memberikan ceramah di pengajian Khususi Putra pada hari Rabu Sore di Kantor Pusat MTA, Semanggi, Pasarkliwon, Solo.

Tidak hanya itu, bahkan Ustadz Drs. Ahmad Sukina pernah mendapat tugas untuk menyampaikan dekte pelajaran, ketika Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro berada di tempat. “Isyarat-isyarat itu rasanya cukup menjadi alasan bagi para murid Beliau untuk menetapkan dan mengangkat Ustadz Drs. H. Ahmad Sukina sebagai penganti. Ketika Nabi Muhammad SAW sakit, Abu Bakar adalah sahabat yang mendapatkan tugas untuk menggantikannya mengimami shalat. Karenanya sepeninggal Nabi, para sahabat juga memilih dan mengangkat Abu Bakar Ash Shidiq sebagai pimpinan,” seperti yang dikutip dari artikel berjudul “Mengenang 20 Tahun Al Ustadz” pada Majalah Respon edisi Bulan September 1992.

Berkat ketegasan yang ditanamkan oleh Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro sejak awal pendirian MTA, saat ini MTA telah memiliki ratusan cabang dan perwakilan yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Di usianya yang menginjak tahun ke-44 MTA telah menjelma menjadi lembaga dakwah Islam yang mampu tampil di tingkat nasional. Terbukti dengan terselenggaranya kegiatan Shilaturahim Nasional (Silatnas) MTA kedua di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) yang dihadiri oleh puluhan ribu warga MTA pada Ahad, 27 Desember 2015.
Tidak hanya itu, MTA kini juga telah memiliki stasiun radio, MTA FM, dan stasiun televisi, MT@ TV sebagai sarana untuk mengiatkan kegiatan dakwah ke seluruh Indonesia. Sedagkan di bidang pendidikan kini MTA telah memiliki puluhan sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yag tersebar di beberapa wilayah. 

“MTA enggak akan hidup sampai sekarang, kalau Beliau (Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro) itu tidak keras. Memang beliau itu terkenal keras,” kata ajudan pribadi Al Ustadz Abdullah Thufail Saputro, Bariyanto, yang telah membersamai pendiri MTA ini selama tiga belas tahun hingga beliau wafat. [Abdul Wahid]

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kaidah Penulisan Arab Melayu

Ringkasan novel Edensor

Biografi, Karya, dan Pemikiran Abdul Rauf Al-Singkili